24 Februari 2008

Beber 8 Kejanggalan Semburan

Minggu, 24 Feb 2008,
Beber 8 Kejanggalan Semburan

Hasil Kajian Komnas HAM
JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan delapan kejanggalan di balik peristiwa semburan lumpur Lapindo yang menyebabkan ribuan warga telantar itu. Lembaga negara tersebut akan membentuk tim khusus untuk mendalami hasil kajiannya yang penuh dengan keganjilan.

Hasil pemantauan Komnas HAM sangat berbeda dengan hasil TP2LS (Tim Pemantau Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) DPR. Bila TP2LS menyebut sebagai fenomena alam, Komnas HAM justru melihat ada beberapa persoalan dan keganjilan yang menyebabkan semburan lumpur hampir dua tahun itu.

"Status (fenomena alam) tidak membuat kasus ini selesai. Tim menemukan kejanggalan-kejanggalan yang harus diungkap untuk kepentingan melindungi hak-hak masyarakat yang menjadi korban," kata Ketua Tim Pemantau Kasus Lapindo Komnas HAM Syafruddin Ngulma Simeulue di Jakarta kemarin (23/2).

Hal-hal janggal tersebut telah terjadi sebelum muncul semburan pada 29 Mei 2006. Penetapan lokasi eksplorasi sumur Banjarpanji, misalnya, dinilai tidak sesuai dengan apa yang ada dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Sidoarjo.

Berdasarkan RTRW, kawasan tersebut diproyeksikan sebagai kawasan budi daya. Peruntukkannya adalah perumahan, pertanian, dan pabrik. "Mengapa kemudian ada konversi menjadi kawasan eksplorasi migas?" kata Syafruddin penuh tanya.

Selain itu, lanjut dia, sejak perubahan fungsi kawasan tersebut, telah terjadi pelanggaran hak atas informasi terhadap warga. Sebab, tidak ada informasi yang diberikan kepada warga berkaitan dengan adanya sumur-sumur gas tersebut.

Kejanggalan berlanjut setelah muncul semburan lumpur. Menurut Syafruddin, Komnas HAM melihat tidak ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menurunkan risiko. Salah satu di antaranya terindikasi dari tidak diungkapnya data teknis, seperti laporan harian pengeboran. "Kami juga menemukan penanganan yang terlambat hingga beberapa bulan. Padahal, teknologi itu ada dan hingga sekarang belum dipakai," kata mantan direktur Walhi Jatim itu.

Syafruddin menyesalkan mobilisasi ribuan tentara dengan senjata lengkap yang diterjunkan di sekitar lokasi semburan. Dia meminta ada klarifikasi dari pihak berwenang atas keputusan tersebut. "Sejauh ini tidak ada informasi tujuannya untuk apa," ujarnya.

Hingga kini, pemerintah belum memberikan jawaban tentang masalah itu. Begitu juga, DPR yang belum melihat masalah tersebut sebagai hal yang harus dikritisi. DPR sudah menurunkan tim pemantau. Namun, dalam sidang paripurna, hasil tim pemantau justru membuat pecah para wakil rakyat itu. Sebagai setuju atas rekomendasi sebagai fenomena alam, yang lain ingin interpelasi. Dalam rapat konsultasi antara DPR dan pimpinan fraksi pada Jumat (22/02), diputuskan untuk memperpanjang masa kerja TP2LS.

Komnas HAM, kata Syafruddin, tak terpengaruh oleh putusan DPR yang memperpanjang masa kerja TP2LS. Komnas akan memusatkan perhatian terhadap sejumlah kejanggalan yang berimplikasi pada terganggunya hak-hak kehidupan masyarakat setempat.

Hal lain yang akan diselidiki Komnas HAM adalah dibiarkannya pipa Pertamina di utara pusat semburan. Pipa yang berada di bawah luberan lumpur tersebut akhirnya meledak dan menewaskan 12 orang. Selain itu, kata Syafruddin, pihaknya memandang Perpres 14/2007 lebih menguntungkan Lapindo, yakni dengan menghilangkan kewajiban membayar ganti rugi dan memberi hak untuk membeli tanah. Komnas HAM meminta ada peraturan lain yang lebih menjamin terpenuhi dan terpulihkannya hak korban lumpur.

Komnas yang diketuai Ifdhal Kasim itu juga memandang, kelanjutan proses hukum yang melibatkan Lapindo, baik secara pidana maupun perdata, sebagai sesuatu hal yang misterius. Secara pidana, melalui Kepolisian Daerah Jatim, perkara tersebut terkesan lamban. "Itu sangat menyakiti perasaan para korban," kata Syafruddin yang mantan wartawan itu. Namun, Kapolda Jatim Irjen Pol Herman Sumawiredja kepada wartawan menegaskan bahwa pihaknya tetap terus mengusut kasus semburan lumpur yang diduga karena kelalaian pihak Lapindo.

Demikian halnya dengan proses secara perdata yang diajukan dua penggugat berbeda. Pertama, gugatan yang diajukan Tim Advokasi Korban Kemanusiaan Lumpur Lapindo yang diwakili YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kedua, gugatan yang diajukan Walhi dan disidangkan di PN Jakarta Selatan. Semua gugatan tersebut memunculkan pihak Lapindo sebagai pemenang.

Yang terbaru, kata Syafruddin, adalah wacana politik yang menyebutkan bahwa semburan lumpur Lapindo sebagai fenomena alam. Padahal, sudah ada pendapat dari pakar yang menyebutkan bahwa semburan tersebut sebagai human error dan tidak ada yang berkaitan dengan gempa di Jogjakarta pada 27 Mei 2006. "Pendapat-pendapat pakar itu juga disampaikan di persidangan," katanya.

Tim investigasi akan dibentuk Komnas HAM, kata anggota Subkomisi Mediasi Komnas HAM itu, dalam Rapat Paripurna Komnas HAM pada 26-27 Februari mendatang. Selain komisioner Komnas HAM, tim akan melibatkan staf Komnas HAM dan unsur masyarakat, seperti ahli dan akademisi.

"Tentunya yang memiliki kemampuan investigasi sesuai dengan kebutuhan tim," jelasnya. Dia lantas menyebutkan bahwa jumlah anggota tidak lebih dari 15 orang. Masa kerja tim adalah tiga bulan dan dapat diperpanjang hingga tiga bulan berikutnya.

Meski akan menguak misteri di balik kejanggalan-kejanggalan tersebut, langkah Komnas HAM tidak untuk memojokkan PT Lapindo Brantas Inc. Namun, itu lebih kepada upaya pemenuhan HAM. "Bagaimana caranya, hak-hak dasar masyarakat tidak dicabut negara dan korporasi," kata Syafruddin. Sebagai lembaga negara, Komnas HAM memiliki internal kontrol terhadap pemerintah. "Ini yang kami optimalkan," imbuhnya.

Wakil Ketua Komnas HAM Ridha Saleh menambahkan, Komnas HAM akan memberikan kewenangan lebih kepada tim investigasi. Di antaranya dengan kewenangan politik. "Karena kesimpulannya nanti bukan teknis, tapi politik atau kebijakan," katanya. Selain itu, kewenangan untuk memberikan rekomendasi projustisia kepada aparat penegak hukum.

Reaksi Lapindo

Menanggapi temuan tersebut, Vice President Lapindo Brantas Inc Yuniwati Teryana menyatakan, apa yang disampaikan Komnas HAM wajib mendapatkan pembuktian lebih lengkap. Menurut Yuniawati, Lapindo selama satu tahun lebih telah melakukan tanggung jawabnya memenuhi apa yang dituntut dalam Perpres 14 Tahun 2007. "Harus dibuktikan," ujar Yuni -sapaan Yuniawati- saat dihubungi Jawa Pos kemarin malam (23/2).

Terkait peruntukan lokasi yang dianggap sebagai lokasi budi daya, Yuni menyatakan bahwa Lapindo sejak pendirian sudah mengantongi izin lokasi dan izin peruntukan. Soal kegiatan pengeboran di wilayah kerja pertambangan (WKP) Blok Brantas, menurut Yuni, semua itu sudah disetujui Pemerintah. "Kami tegaskan, semua proses perizinan sudah kami lakukan. Kami tidak menyalahi prosedur," tutur Yuni.

Dia juga sekaligus menjawab soal tudingan tidak adanya upaya penutupan semburan secara dini, yang berimbas pada meledaknya pipa Pertamina beberapa waktu lalu. Menurut Yuni, Komnas HAM patut mencermati sikap masyarakat dan juga LSM yang berdemo saat Lapindo berkeinginan membuang lumpur di sepanjang Kali Porong dan juga ke Ngoro, Mojokerto.

"Sejak semburan muncul pada 29 Mei, kami sudah berupaya. Namun, kami tidak didukung. Malah didemo," ujarnya. Namun, meski kini sudah terpasang, upaya tersebut boleh dibilang terlambat. Sebab, baru mendapatkan izin setelah Timnas Lapindo terbentuk. "Yang juga harus diketahui bahwa semburan itu berada 200 m di luar pengeboran kami. Jadi, sebenarnya tidak ada hubungan dengan kami," imbuhnya.

Yuni menambahkan, Lapindo Brantas Inc hingga kini telah mengeluarkan biaya Rp 2,83 triliun demi melakukan kewajiban sebagaimana diwajibkan dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007. Upaya tersebut seharusnya lebih dicermati bahwa selama ini Lapindo telah bersikap kooperatif untuk membantu warga terdampak lumpur Lapindo. " Yang kami lakukan adalah bentuk kepedulian, bukan kesalahan yang hingga kini belum terbukti secara hukum," ujar Yuni mengingatkan. (fal/bay)

Tidak ada komentar: