30 Juni 2008

Ada Indikasi Penyimpangan Setoran Rp 194 Triliun

Ada Indikasi Penyimpangan Setoran Rp 194 Triliun

JAKARTA - Upaya membongkar dugaan korupsi pada setoran negara di sektor minyak dan gas (migas) terhambat. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan Haryono Umar mengungkapkan, KPK sedang menghimpun data sebelum mulai memanggil pihak Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Menurut Haryono, tidak mudah menghimpun informasi terkait migas. ''Mereka itu (KKKS, Red) eksklusif sekali. Permasalahan sudah kami lihat, tinggal meminta keterangan," ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.

Selain penjelasan soal jumlah migas yang diproduksi (lifting), lanjut Haryono, KPK akan menyinggung pengawasan BP Migas terhadap kegiatan pengeboran minyak yang menurut informasi hanya dilakukan satu konsultan swasta.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencium praktik transfer pricing dalam cost recovery Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas yang akan membuat cost recovery membengkak. Dalam praktik net operating income bagian pemerintah adalah sebesar 71,1 persen dan kontraktor 28,8 persen. Setelah dikurangi pajak yang ditanggung KKKS, total penerimaan negara adalah 85 persen, sementara KKKS 15 persen.

Itu berdasarkan hitungan kasar. Faktanya, pemerintah masih menanggung cost recovery eksplorasi minyak yang dikeluarkan KKKS. Semakin besar cost recovery makin berkurang pendapatan pemerintah. Sebaliknya, makin efisien makin besar penerimaan yang didapat. Besar kecilnya cost recovery bergantung pada sistem pengawasan dan pengendalian yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini BP Migas.

Pada bagian lain, BP Migas hari ini (30/6) akan dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke KPK.

Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas mengungkapkan, berdasarkan penelitian dan perhitungan, pihaknya menemukan fakta selama 2000 sampai 2007 ditemukan indikasi penyimpangan penerimaan negara dari minyak Rp 194 triliun. "Itu baru minyak, belum gasnya," ujarnya kepada koran ini kemarin (29/6).

Dia menambahkan, dugaan penyimpangan tersebut dihasilkan dengan metode, tata cara, dan angka-angka resmi, baik dari Departemen Keuangan, Kementerian ESDM, maupun dari BP Migas sendiri.

"Angka tersebut masih moderat. Nilainya masih bisa bertambah," ujarnya. Dia menambahkan, nilai Rp 194 triliun merupakan selisih kurang antara besaran penerimaan migas yang dilaporkan dan realitas yang ada. Firdaus mengungkapkan, selama delapan tahun keberadaan sekitar 160 juta barel minyak Indonesia tak jelas.

Tidak transparannya BP Migas dituding sebagai penyebab tidak optimalnya penerimaan negara dari sektor migas. Salah satunya KKKS yang justru cenderung merugikan negara. Cost recovery migas yang harus dibayarkan negara makin lama makin tinggi. Itu bukti tidak efisiennya sektor hulu. "Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya pengawasan dan kontrol BP Migas terhadap kegiatan usaha para kontraktor migas," tambahnya.

KPK, ujarnya, diharapkan bisa mengurai benang kusut sektor migas sekaligus melakukan penindakan jika ditemukan dugaan indikasi korupsi. Mengapa BP Migas? Pasalnya, menurut UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Migas, yang berkewajiban mengawasi pengelolaan migas adalah lembaga tersebut.

Sorotan terhadap kinerja BP Migas adalah buntut kenaikan harga BBM. Indonesia yang notabene penghasil migas justru terpuruk dengan kenaikan harga minyak dunia.

BP Migas Siap Beri Keterangan

Desakan transparansi di sektor migas langsung direspons BP Migas. Kepala BP Migas R. Priyono mengatakan, pihaknya siap memberikan penjelasan kepada semua pihak termasuk KPK. ''Kami belum tahu detail pertanyaannya, tapi pasti nanti kami jelaskan,'' ujarnya.

Menurut Priyono, industri migas memang memiliki karakter berbeda dengan sektor industri lain. Karena itu, perbedaan-perbedaan persepsi bisa memancing timbulnya ketidakjelasan, termasuk dalam hal mekanisme pengawasan dan kuangan.(ein/owi/agm)

Revisi Perpres Lapindo Tak Sentuh Substansi

Revisi Perpres Lapindo Tak Sentuh Substansi

JAKARTA - Revisi Peraturan Presiden (Perpres) No 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dinilai tidak menyentuh substansi. Seharusnya, revisi lebih menyentuh hal prinsip.

''Seharusnya, tak ada lagi diskriminasi antardesa terdampak dan tidak,'' ujar Syafruddin Ngulma Simeulue, komisioner Komnas HAM, kepada koran ini kemarin (29/6). Pembedaan tersebut tidak perlu karena masyarakat di sekitar semburan merasakan dampak yang sama.

Seperti diwartakan, pemerintah telah merampungkan revisi Perpres 14/2007. Dalam perpres itu, tiga desa, yakni Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, akan dimasukkan dalam peta terdampak. Awal Februari lalu, tiga desa itu terkena dampak bencana tanggul jebol. Namun, mereka tidak masuk dalam peta terdampak. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan ganti rugi dari PT Lapindo Brantas.

Warga tiga desa itu lantas menuntut wilayahnya dimasukkan ke peta terdampak. Permintaan itu disetujui dengan anggaran dari APBNP yang disetujui pada 10 April 2008. Anggaran tersebut belum bisa cair selagi payung hukumnya tidak ada. Karena itu, warga mendesak revisi perpres segera dilakukan supaya dana bisa dicairkan.

Syafruddin menjelaskan, selain tidak perlu pembedaan daerah terdampak dan tidak terdampak, revisi seharusnya mengatur ganti rugi dan biaya pemulihan bagi warga. ''Itu sebenarnya lebih substansial,'' terang mantan direktur Walhi Jatim itu.

Terkait dengan investigasi terhadap kejanggalan dalam semburan lumpur yang sedang ditangani komnas, Syafruddin menjelaskan, pihaknya kini memasuki tahap akhir penyelesaian laporan. Namun, komnas masih membutuhkan beberapa keterangan dari pihak terkait. ''Salah satunya menteri lingkungan hidup. Kami masih atur jadwalnya,'' katanya.

Dia menargetkan, akhir Juli mendatang laporan dan rekomendasi bisa rampung. ''Nanti diputuskan di (rapat) paripurna sebelum kami publikasikan,'' terangnya.(fal/oki)

28 Juni 2008

GKLL Pilih Cash And Resettlement

GKLL Pilih Cash And Resettlement
Friday, 27 June 2008
Sidoarjo - Surya-Setelah sekian lama memperjuangkan ganti rugi dengan cash and carry, Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) akhirnya menyerah dan memilih sistem cash and resettlement. Hal ini dilakukan 2.000 anggota GKLL, setelah tidak adanya payung hukum yang menaungi aset berupa tanah non sertifikat. Bahkan GKLL sudah menandatangani nota kesepahaman dengan PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), 25 Juni lalu.

Sekretaris GKLL Khoirul Huda mengakui, sebenarnya warga berusaha menjual lahan tersebut. Namun ternyata, tanah tersebut tidak dapat di akta jual belikan (AJB). “Di tengah proses pembayaran ganti rugi, ternyata tanah non sertifikat tidak dapat di AJB kan,” jelas Khoirul Huda, Kamis (26/6).

Huda mengatakan, cash and resettlement ini hanya berlaku bagi warga yang tergabung dalam GKLL. Saat ini, tambah Huda, ada 3000 anggota GKLL yang tanahnya non sertifikat. Setelah dilakukan sosialisasi, sebanyak 2.000 warga menyetujui dengan kesepakatan tersebut. “Masih ada sekitar 1000 warga yang belum melakukan pilihan,” paparnya.

Vice President MLJ Andi Darusalam Tabussala, mengatakan, cash and resettlement merupakan upaya penyelesaian bagi warga yang non sertifikat. “Kami yakin ini adalah suatu kepastian, sehingga warga tidak lagi terombang-ambing,” “katanya.

Pihaknya juga tidak mempermasalahkan uang muka 20 persen, yang telah diberikan ke warga. Sebaliknya, MLJ menganggap uang muka tersebut sebagai hibah, yang tidak diperhitungkan. Selain itu MLJ tidak akan melakukan pembayaran ganti rugi cash and carry dalam kondisi apapun, kepada korban lumpur dengan bukti kepemilikan petok D/ letter C/ SK Gogol. iit

Skema Cash and Resettlement
------------------------------------
Cash :
- Hanya untuk bangunan dihargai Rp 1,5 juta / meter
- Realisasi pembayaran 2 bulan setelah penandatanganan

Resettlement :
- Tanah dengan perbandinagan 1 : 1
- Lokasi dikawasan PT Kahuripan Nirwana Village (KNV), untuk tanah sawah di Desa
Sambibulu Kecamatan Taman
- Tanah sawah juga dapat dikonversi ke tanah darat dengan perbandingan tertentu
- Tanah dapat dijual kembali ke MLJ, dihargai Rp 1 juta/ meter, setelah 1 tahun dan diikat dengan akta notariat.

Win Minta Maaf, Dewan Menolak Interpelasi Jalan Terus

Win Minta Maaf, Dewan Menolak Interpelasi Jalan Terus

Wednesday, 25 June 2008

Sidoarjo - Surya-Ancaman interpelasi yang akan dilakukan sebagian anggota DPRD Kabupaten Sidoarjo, ternyata mampu membuat Bupati Win Hendrarso sedikit keder. Terbukti, dalam sidang paripurna dengan agenda pembacaan nota penjelasan raperda tentang pertanggungjawaban APBD 2007, yang digelar DPRD Selasa (24/6) kemarin, di luar agenda sidang Bupati Win berusaha meredakan mencairkan hubungan dengan meminta maaf.
Usai pembacaan nota, Bupati Win tidak mengakhirinya tetapi masih dalam posisi yang sama ia memberikan klarifikasi atas ketidak hadirannya pada paripurna akhir Mei lalu, yang dinilai dewan sebagai bentuk pelecehan institusi hingga berujung ke usulan interpelasi.

“Saya ingin mengklarifikasi ketidakhadiran saya pada paripurna beberapa waktu lalu. Ketika itu saya ada undangan mendadak dari ketua dewan pengarah BPLS, untuk membahas penyelesaian ganti rugi warga tiga desa di luar peta area terdampak yakni Kedungcangkring, Besuki, dan Pejarakan,” jelasnya.

Setelah mendapat undangan mendadak itu, tambah Bupati Win, sekitar pukul 08.00 WIB dia bersama Wabup Saiful Illah menelepon Ketua DPRD Arly Fauzy memohon izin tidak hadir dalam acara sidang paripurna. “Sebab undangan dari Jakarta itu menuntut saya hadir langsung,” tegasnya.
Curhat Bupati Win tersebut, kemudian dipotong M Kalim, satu dari 14 anggota dewan pengusung interpelasi. “Apa yang diungkapkan bupati itu tidak termasuk agenda forum, yang dimaksud itu ada tempatnya sendiri,” kata Kalim.

Wakil Ketua DPRD Sidoarjo Sumi Harsono yang memimpin rapat, memberikan kesempatan kepada Win melanjutkan ucapannya. “Perjuangan kita ini untuk Sidoarjo juga, namun saya mintaa maaf atas kesalahan selama ini. Mohon maaf atas kurang lebihnya,” pungkas Win.

Usai rapat Kalim mengatakan, jika bupati tidak memahami aturan main dalam paripurna. Sebab, dia tidak meminta ijin terlebih dulu kepada pimpinan sidang soal itu. “Itu harusnya ada dalam forum tersendiri, dan interpelasi kami jalan terus,” katanya.
Wakil Ketua Komisi A, Iswahyudi, mengingatkan kalau permohonan maaf Bupati Win dalam rapat tersebut, belum bersambut pemberian maaf dari anggota dewan. “Secara resmi belum ada keputusan dari dewan, untuk pemberian maaf atau tidak,” katanya.

Sementara itu, usulan interpelasi dari anggota dewan sampai saat ini masih di meja pimpinan dewan. Hanya saja, Ketua DPRD Arly Fauzi menyiratkan jika usulan bupati mangkir itu kurang penting, jika dilihat dengan Pasal 12 ayat 1 tata tertib anggota dewan bab interpelasi.
“Dalam pasal itu disebutkan, interpelasi hak anggota dewan untuk meminta jawaban atas kebijakan daerah yang bersifat startegis dan menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Makanya saya berharap, teman-teman dewan bisa membuat penilaian atas persoalan itu,” terangnya. sda

20 Juni 2008

Ganti Rugi 6 Desa Menunggu Perpres

Ganti Rugi 6 Desa Menunggu Perpres
Ditulis Oleh riz
Selasa, 17 Juni 2008

Sidoarjo – Enam desa yaitu Desa Besuki, Pejarakan,kedungcangkring, Kecamatan Jabon, Desa Mindi, Jatirejo Barat, dan Siring Barat, Kecamatan Porong, sampai dengan saat ini masih harus mengunggu peraturan presiden terkait penanganan kawasan di luar peta terdampak lumpur.

Mereka harus bersabar untuk mendapatkan ganti rugi, karena saat ini pengajuan mekanisme penanganan untuk enam desa tersebut sudah diajukan Menteri Pekerjaan Umum selaku Ketua Dewan Pengarah BPLS ke Menteri Sekretaris Negara.

Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso berharap peraturan presiden (Perpres) yang mengatur mekanisme penanganan enam desa itu dapat selesai akhir bulan ini.

“Kita berharap Perpres penanganan untuk enam desa itu sudah turun akhir bulan ini. Sebab, bulan depan sudah mulai pemilihan gubernur sehingga tidak ada masalah lagi terkait korban diluar peta terdampak Lumpur,” Win Hendrarso, Bupati Sidoarjo.

Sementara itu, Suparno, warga Siring Barat mengaku bahwa warga minta agar penanganan kawasan itu disamakan dengan korban lumpur lainnya. “Kalau warga yang masuk peta terdampak lumpur, tanah dan bangunannya di bayar, kita juga minta sama. Pokoknya diberi ganti rugi dengan harga sama,” Suparno.

Ditambahkan bahwa Win Hendrarso dapat memastikan, untuk tiga desa, yakni Besuki, Pejarakan dan Kedungcangkring, mekanisme ganti rugi sama seperti korban lumpur yang masuk peta terdampak. Namun untuk Desa Mindi, jatirejo barat, dan Siring Barat, mekanismenya tersendiri.

“Penyelesaian untuk enam desa itu memang masih menunggu Perpres. Nantinya penyelesaian akan dibuat seperti kluster-kluster. Apakah ganti rugi atau relokasi, kita tunggu saja Perpresnya,” Win Hendrarso.

16 Juni 2008

Pertemuan Batal GKLL Kecewa, Lapindo, DPRD dan Bupati Tidak Hadir

Pertemuan Batal GKLL Kecewa, Lapindo, DPRD dan Bupati Tidak Hadir
Wednesday, 11 June 2008
Sidoarjo - Surya-Ribuan warga yang tergabung dalam Gerakan Korban Lumpur Lapindo (GKLL), mengaku tidak percaya lagi dengan aparat pemerintah dan DPRD, menyusul dibatalkannya secara sepihak, pertemuan yang melibatkan GKLL, DPRD, Bupati dan Lapindo di gedung DPRD, Selasa (10/6) pukul 14.00 WIB. Apalagi, pembatalan tersebut tanpa disertai alasan sehingga warga yang sudah menunggu sejak pagi, harus pulang dengan tangan hampa. “Kami sudah tidak percaya lagi dengan wakil rakyat, kenapa pertemuan ini ditunda tanpa alasan yang jelas,” kata kordinator GKLL Joko Suprastowo.

Padahal, kata Joko, pertemuan itu dimaksudkan untuk mencari jalan keluar terhadap nasib 8.500 korban lumpur yang surat tanah dan rumahnya di luar sertifikat. Sebab saat ini, anggota GKLL yang hanya mempunyai Petok D atau leter C, menolak resettlement yang ditawarkan Lapindo. “Kami ingin cash and carry, bukan resettlement, karena belum ada kesepakatan, kami diundang ke DPRD tapi tiba-tiba saja dibatalkan, dengan alasan terjadi miskordinasi,” lanjutnya.

Membludaknya warga yang berkumpul di DPRD, sudah diantisipasi polisi dengan menempatkan mobil panser anti huru hara, serta sejumlah petugas anti huru hara. Namun karena warga berlaku tertib, pasukan dan mobil tersebut akhirnya ditarik kembali ke Mapolres.

Di tempat terpisah, tanggul yang jebol sekitar enam meter di titik 44 Minggu (8/6), ternyata hingga Selasa (10/6) sore masih mengalirkan lumpur panas yang deras.

Akibatnya, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) harus melokalisir aliran lumpur dengan mengggunakan pipa untuk overflow. Pipa tersebut diletakkan persis di lokasi tanggul yang jebol, agar aliran lumpur tidak menggerus tanggul lainnya. “Setelah dipasang pipa, baru diuruk tanah sirtu untuk menutup dan memperbaiki tanggul yang jebol,” jelas Akhmad Khusairi, staf humas BPLS, Selasa (10/6).

Namun BPLS terkendala material sirtu, karena truk pengangkut sirtu belum bisa masuk akibat jalan diblokade warga Desa Besuki.

Sebenarnya warga Desa Besuki sudah membuka tendanya yang berada di tengah jalan, namun mereka masih menghadang truk yang akan melintas. “Truk sirtu belum bisa masuk ke lokasi tanggul yang jebol, karena warga yang masih berjaga-jaga di bekas jalan Tol Porong - Gempol,” tutur Khusairi. iit

10 Juni 2008

Tanggul 44 Jebol

Tanggul 44 Jebol
Monday, 09 June 2008
Sidoarjo - Surya-Karena terjadi penurunan permukaan tanah (subsidence), tanggul di titik 44 jebol selebar 10 meter, Minggu (8/6) pukul 12.30 WIB. Selain itu, dinding tanggul utama juga retak-retak.
Humas BPLS, Achmad Zulkarnaen mengakui jika di sekitar tanggul pusat semburan terlihat retakan-retakan akibat subsidence. "Dari hasil pengukuran, penurunan mulai terlihat sebulan terakhir, setiap minggu penurunan mencapai 2 meter," tuturnya saat memantau lokasi semburan di Desa Renokenongo, Minggu (8/6).

Diungkapkan, selain penurunan tanah penyebab jebolnya tanggult ersebut karena kurang berfungsinya dua pompa buster yang dipasang untuk mengalirkan lumpur ke Kali Porong. Saat ini, ada dua pompa buster di dekat titik 44 yang tersumbat sand bag (kantung pasir). Sehingga lumpur tak bisa keluar, bahkan semakin membebani tanggul di titik tersebut.

"Tersumbatnya Minggu (8/6) dini hari, lumpur yang keluar dari semburan kemudian naik ke atas tanggul sehingga terjadi overtopping (meluber). Setelah terjadi luberan, setengah jam kemudian tanggul mulai tergerus hingga jebol," paparnya.

Sebenarnya, begitu pompa buster tersumbat, pihak BPLS sudah mengantisipasi dengan meninggikan tanggul. Namun karena elevasi lumpur sangat cepat, tanggul ternyata jebol lebih dulu. "Kalau dihitung volume lumpur, maka rata-rata keluarnya per hari mencapai 100.000 m3.

Tanggul jebol itu bisa ditutup paling tidak 2-3 hari," tukasnya.
Setelah tanggul jebol, luberan lumpur langsung mengarah ke Desa Siring dan Perumtas I. Hanya saja, meski luberan lumpur cukup deras, namun lumpur itu bisa ditampung di kolam penampungan (pond) di bekas Perumtas. "Di sekitar tanggul utama ada 120 ha pond, yang bisa menampung luberan lumpur tersebut," katanya. sda

Ganti Rugi Tak Jelas Lagi, Warga Cegat Truk Sirtu

Ganti Rugi Tak Jelas Lagi, Warga Cegat Truk Sirtu
Saturday, 07 June 2008
Sidoarjo - Surya-Untuk kesekian kalinya, ratusan warga Desa Besuki Kecamatan Jabon, memblokade jalan alternatif di bekas jalan tol Porong - Gempol KM 41, yang dipakai untuk lalu lintas truk sirtu menuju pusat semburan, Jumat (6/6). Aksi yang diikuti 300 KK ini dipicu sikap Lapindo, yang terkesan tidak memperhatikan nasib warga Desa Besuki yang menjadi korban lumpur panas Lapindo. Apalagi sampai kemarin, belum ada kejelasan terkait ganti rugi rumah dan lahan warga akibat terkena dampak lumpur.

Warga memulai aksi, setelah sholat Jumat dengan berkumpul di bekas jalan tol Porong - Gempol Km 41. Selain diikuti kaum lelaki, aksi itu juga melibatkan kaum ibu dan anak-anak.

Tanpa dikomando, warga lalu menghentikan sejumlah truk pengangkut sirtu. Mereka menyuruh sopir, untuk menumpahkan muatan sirtu ke jalan raya. Karena jumlah warga lebih banyak, para sopir menurut saja tanpa bisa melawan.

Mursyid, warga Besuki mengatakan aksi ini sebenarnya sudah berkali-kali dilakukan, namun tidak ada satu pun pejabat yang terkait, meresponnya. “Kami minta agar pemerintah Sidoarjo atau siapa saja, yang terkait dan berkepentingan dengan ganti rugi, bisa tanggap dan melakukan upaya penyelesaian ganti rugi,” paparnya.

Sejumlah petugas dari Polres Sidoarjo, mencoba negosiasi dengan warga agar membiarkan truk memuat sirtu lewat sekaligus membubarkan aksi. Namun hingga petang kemarin, warga masih tampak menguasai jalan tersebut dan menjaga tumpukan sirtu yang sengaja dibuang dari truk. “Kami minta ada pihak yang berkepentingan datang ke sini, dan menjelaskan sampai kapan warga harus menunggu untuk mendapat ganti rugi,” kata seorang warga.

Seperti diketahui, warga Desa Besuki 'terpaksa' terusir dari kampung halamannya sendiri, karena diterjang lumpur panas. Saat ini, mereka masih bertahan di tenda-tenda darurat yang dibangun warga di sepanjang bekas jalan tol Km 41.

Selama ini, warga tidak bisa berbuat apa-apa karena selama ini belum ada ganti rugi apapun yang diterima warga, meski sebelumnya pemerintah sudah memasukan kawasan Desa Besuki ini masuk dalam peta area terdampak.

“Tapi mana buktinya? Sampai sekarang tidak ada kejelasan dan kami masih bertahan di tenda-tenda darurat,” kata warga lainnya. iit

06 Juni 2008

Tiga Desa di Relokasi

Tiga Desa di Relokasi

Wednesday, 04 June 2008
Sidoarjo - Surya-Menteri Pekerjaan Umum, yang juga bertindak sebagai Ketua Dewan Pengarah BPLS, Djoko Krimanto memastikan sembilan RT di tiga desa sebelah barat rel kereta api Porong, akan direlokasi. Tiga desa tersebut adalah Desa Siring Barat, Jatirejo Barat dan Desa Mindi.
“Tinggal tunggu jawaban Presiden, kalau disetujui segera dibuat anggarannya dari APBN,” tegas Djoko Kirmanto usai soft opening Asrama Mahasiswa ITS Surabaya, Selasa (3/6).
Djoko tidak menyebutkan secara pasti, anggaran yang disediakan, namun pihaknya memastikan angkanya mencapai puluhan miliar rupiah.

Ditambahkan Djoko, ketiga desa tersebut memang tidak termasuk dalam peta terdampak Perpres 14/2007. Maka, harus ada peraturan baru yang dibuat.
Warga yang direlokasi, jumlahnya mencapai ratusan kepala keluarga. “Tempat relokasi masih di sekitar Sidoarjo,” tegas Djoko.

Sementara itu, tanggul cincin di pusat semburan sisi Barat, jebol selebar enam meter, Selasa (3/6). Akibatnya, lumpur panas dari pusat semburan mengalir ke kolam penampungan (pond) Desa Siring dan Kedungbendo. Jebolnya tanggul tersebut, diduga karena kawasan di pusat semburan terjadi subsidence (penurunan tanah).

Bersamaan dengan itu, warga Desa Besuki Kecamatan Jabon, sengaja menutup jalan alternatif yang biasa dilalui truk sirtu dengan sirtu.
Aksi blokade itu, dilakukan warga untuk meminta perhatian dan kejelasan dari pemerintah terkait pembayaran ganti rugi aset warga Desa Besuki yang terdampak lumpur.

“Kami meminta perhatian pemerintah, untuk secepatnya membayar ganti rugi yang sampai saat ini belum ada kejelasan,” kata Mursyid, salah satu perwakilan warga Besuki.
Humas BPLS Akhmad Zulkarnain mengakui, tanggul tersebut diketahui jebol Senin (2/6) malam. Namun upaya perbaikan baru dapat dilakukan esok harinya. Sebelumnya, tanggul tersebut sudah terlihat retak. Saat petugas membenahi, ternyata keretakan mulai merembet hingga tanggul tersebut jebol selebar 6 meter. “Kami masih lakukan perbaikan, kondisi aliran lumpurnya cukup deras,” terangnya. iit/ida