31 Maret 2008

BPLS Beri Rekomendasi

BPLS Beri Rekomendasi

Saturday, 29 March 2008
Sidoarjo - Surya-Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memberikan tiga rekomendasi, terkait munculnya semburan baru di sebuah pabrik, yang namanya tidak boleh ditulis atas permintaan pemilik pabrik, di Desa Siring bagian barat. Rekom yang diterbitkan BPLS, setelah melakukan survey di lokasi, Jumat (28/3), pertama warga dan pekerja pabrik agar membuat pembatas di sekitar semburan baru dengan pasir dan batu semburan tak melebar.
Kedua, BPLS meminta agar area semburan baru itu lebih terbuka dan bebas dari bangunan. Pasalnya, sebelum semburan itu muncul, area itu merupakan bangunan tertutup genteng dan terdiri atas beberapa ruangan kosong.

Rekomendasi ketiga, semburan yang berisi air dan bercampur lumpur itu dibuatkan saluran yang lebih lebar keluar bangunan itu, sehingga semburan itu tak meluap keluar dan membahayakan orang lain.
Humas BPLS, Ahmad Zulkarnaen mengungkapkan, pihaknya memang telah mensurvei semburan baru itu. Dari situ, pihaknya bisa memberi gambaran apa yang harus ditempuh warga Siring agar semburan bisa dikendalikan.

Pihaknya melihat, meski semburan air dan gas itu cukup besar tapi semburan itu sifatnya lokal. Pasalnya, semburan itu bukanlah pemicu adanya subsiden (penurunan tanah) yang terjadi di sekitar perkampungan warga, dimana penurunan itu rata-rata berkisar antara 1,5 m sampai 2 m. "Ini lokal dan dangkal, sehingga tak terlalu berpengaruh. Ini berbeda dengan cincin lumpur yang ada di pusatnya," tambahnya.
Dia juga menjelaskan, sebenarnya semburan baru itu didominasi gas metan dari perut bumi. Namun ketika mencapai permukaan bumi, gas itu melewati lapisan pasir lempung dan air sehingga muncullah semburan tersebut. "Gas yang ada di sekitar semburan juga berbahaya pada manusia, karena membuat dada sesak dan pingsan. Untuk itu, pekerja pabrik dan warga sekitar jangan terlalu lama berada di area tersebut," pungkasnya. sda

Relokasi Rumah 1.018 KK PerumTAS I Dilakukan 7 April

30 Maret 2008, 17:30:44, Laporan Eddy Prasetyo

Relokasi Rumah 1.018 KK PerumTAS I Dilakukan 7 April

suarasurabaya.net| Rumah bagi warga PerumTAS I menurut rencana akan direncanakan pada 7 April 2008. Penyerahan rumah ini melalui ikatan jual beli antara warga Perumtas I dengan PT Minarak Lapindo Jaya.

Penandatanganan ini akan diikuti dengan pembayaran sisa ganti rugi sebesar 80% setelah dipotong harga rumah relokasi di daerah Sukodono yang disiapkan oleh PT Minarak Lapindo Jaya.

AGUS PRASTOWO yang mewakili 1.018 KK eks warga PerumTAS I pada JOSE reporter Suara Surabaya di Jakarta, Minggu (30/03) mengatakan kepastian itu ia peroleh setelah melalui lobi dengan ANDI DARUSSALAM TABASALLA Vice President PT Minarak Lapindo Jaya.

Rumah yang disediakan terdiri atas tipe 36, 45, 54, dan 70. Warga PerumTAS I berjumlah sekitar 6.500 KK, namun hanya 10.18 yang bersedia direlokasi. Sisanya menentukan nasibnya sendiri-sendiri. AGUS berharap janji ini tidak meleset lagi. [Audio On Demand]

Selama di Jakarta, tim yang mewakili warga PerumTAS I ini menginap di Sahid Jaya Hotel, sebuah hotel berbintang lima di Jakarta dengan fasilitas yang pastinya tidak sama dengan korban lumpur lainnya yang hingga kini masih ada yang tinggal di pengungsian.(edy)

Warga Dua Desa Bertahan

Warga Dua Desa Bertahan

Saturday, 29 March 2008
Sidoarjo - Surya-Hingga kemarin, puluhan warga Desa Glagaharum dan Renokenongo masih bertahan di rumahnya, yang termasuk wilayah rawan luberan lumpur.
Padahal sebagian warga sudah menerima uang kontrak, bakan sebagian lainnya sudah ada yang menerima realisasi ganti rugi 20 persen. Bambang, warga Renokenongo mengaku dirinya dan sekitar 50 warga lainnya memang masih menempati rumah yang lama. Alasannya, selain menunggu proses pembangunan rumah barunya, warga juga menunggu realisasi pembayaran 80 persen.
Hal itu diakui Atim, warga lainnya, yang mengaku sengaja belum pindah karena menunggu pembangunan rumah di Desa Candipari.

Menurutnya, untuk membangun rumah baru ia telah menghabiskan biaya Rp 90 juta yang uangnya didapat dari realisasi pembayaran ganti rugi 20 persen. “Kalau rumahnya sudah selesai dan siap ditempati, kami pasti pindah,” urainya.

Humas Badan Penanggulangan Semburan Lumpur (BPLS) Akhmad Zulkarnain berharap, warga yang sudah menerima uang kontrak dapat segera mengosongkan rumahnya. “Agar BPLS bisa meneruskan penanggulan di lokasi tersebut, mengingat kondisi kolam penampungan (pond) yang ada di sebelah Utara dan Selatan juga makin kritis,” kata Zulkarnain.

Penanggulan itu, kata Zulkarnain, belum dapat dilakukan maksimal karena sebagian warga Desa Glagahatum dan Renokenongo masih ada yang menempati rumahnya di wilayah rawan luberan lumpur, padahal warga sudah menerima uang kontrak bakan sebagian sudah ada yang menerima realisasi ganti rugi 20 persen.

Permintaan itu, disampaikan Zulkarnain, menyusul telah dibayarnya uang kontrak dan uang pindah dari PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) kepada 196 KK warga Desa Glagaharum Kecamatan Porong, Jumat (28/3). Setiap KK, mendapat uang tunai sebesar Rp 5,5 juta.
Sementara itu, Ponari, 45 warga Desa Glagaharum RT01 RW01, yang ikut antre menerima uang kontrak, mengaku meski lumpur belum masuk rumahnya, tapi kondisi lingkungan rumahnya sudah tidak layak.

“Secara tidak langsung kami sudah terdampak, karena setiap hari bau yang timbul dari semburan lumpur itu sudah mengganggu,” ujarnya.
Ponari merupakan penerima uang kontrak dan uang pindahan terakhir, dari warga yang masuk dalam peta terdampak tanggal 22 Maret 2007. “Sesuai peta terdampak 22 Maret 2007, ada 5 RT di wilayah Glagaharum yang mendapatkan uang kontrak dan uang pindahan,” kata Ponari yang mengaku masih mencari rumah kontrakan di kawasan Porong. iit

28 Maret 2008

Semburan Baru Ambles 2 Meter

Semburan Baru Ambles 2 Meter

Friday, 28 March 2008
Sidoarjo - Surya-Warga Siring Barat kembali resah. Setelah kawasannya tidak masuk peta terdampak, kini semburan air bercampur lumpur dan bau gas yang menyengat, di sebuah pabrik diameternya semakin membesar. Bahkan, semburan air bercampur lumpur yang berjarak sekitar 1 kilometer dari pusat semburan itu, kabarnya sempat ambles sedalam 2 meter, Rabu (26/3) malam. "Kami sangat resah dengan kondisi ini, bahkan semburan baru itu ambles 2 meter," jelas Bambang Kuswanto, warga Siring Barat.

Warga yang mengetahui kondisi tersebut, kemarin siang berbondong-bondong ingin melihat semburan baru yang dapat dikatakan merupakan semburan terbesar kedua setelah semburan utama yang berada di Desa Renokenongo Kecamatan Porong.
Sejumlah warga yang ingin melihat langsung pusat semburan baru mengaku merasa mual, kepala pening dan menghirup bau gas yang menyengat. Padahal, mereka berada di sana hanya sekitar 10 menit.

Sebelumnya pihak PT Fergaco, yang melakukan pengukurann gas di semburan tersebut, mendapatkan kandungan LEL (Low Eksplosif Limit) mencapai 72 persen.
Namun karena lokasinya di tempat terbuka membuat kandungan gas tersebut dapat segera netral. ”Kalau lumpur yang keluar itu karena gerusan dari semburan air, yang mengenai susunan batuan lempung, hingga keluar ke permukaan,” kata seorang petugas Fergaco.

Pihak Fergaco, mencoba untuk mengalirkan air lumpur tersebut ke saluran yang berada di sekitar pabrik. Serta membuat bendungan dari karung-karung pasir, agar aliran lumpur tidak meluber ke tempat lainnya.
Indrayani, warga Siring Barat dengan isak tangis mengatakan, semburan baru yang berada di salah satu pabrik itu sangat besar, dan sudah mengeluarkan lumpur. "Semburan ini sangat besar, baunya menyengat sekali," katanya.
Sebelumnya semburan baru itu, kata Edi, warga Siring Barat lainnya, hanya mengeluarkan air dan berdiameter sekitar 2 meter. Namun sekarang, selain air semburan juga mengeluarkan lumpur dan serta bau gas yang menyegat. Diameter semburannya juga bertambah besar, sekitar 10 meter. "Dulu hanya air saja, terus keluar lumpur bentuknya gumpalan dan sekarang bertambah besar," terangnya.
Bambang Kuswanto menambahkan melihat kondisi kawasan Siring Barat yang makin tidak layak huni, pihaknya meminta agar tim gabungan dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), PU Pemprov Jatim benar-benar memperhatikan kawasan tersebut. "Dengan kondisi seperti ini, masak kami tetap harus tinggal di lingkungan ini," katanya. iit

27 Maret 2008

Warga 9 DesaTuntut Masuk Peta Korban Lumpur dalam Dua Minggu

Warga 9 DesaTuntut Masuk Peta Korban Lumpur dalam Dua Minggu
Kamis, 27 Maret 2008 | 01:00 WIB

Sidoarjo, Kompas - Warga sembilan desa di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menuntut dimasukkan dalam peta terdampak lumpur memberikan waktu satu hingga dua minggu kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk memverifikasi kondisi wilayah yang terkena imbas lumpur Lapindo, Rabu (26/3). Warga mengancam akan memblokir lagi Jalan Raya Porong.

Sikap itu disampaikan Koordinator Tim 9, wakil warga, Bambang Kuswanto, Rabu, sehari setelah 18 wakil warga itu ditemui Gubernur Jatim Imam Utomo. Dicapai keputusan untuk menerjunkan tim investigasi dari Pemprov Jatim guna memverifikasi desa-desa yang terkena dampak dan patut diprioritaskan memperoleh ganti rugi.

”Untuk saat ini, Tim 9 menerima keputusan gubernur tersebut, tetapi kami memberikan waktu selama satu minggu. Paling lama dua minggu Tim Verifikasi harus menyelesaikan pekerjaannya,” ujar Bambang.

Selama dua pekan itu, kata Bambang, warga akan menunggu. ”Namun, jika dalam dua minggu tidak ada hasil, besar kemungkinan warga akan kecewa dan memutuskan untuk kembali berunjuk rasa,” katanya.

Warga Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi, Ketapang, Glagaharum, Plumbon, Gedang, Pamotan, dan Gempolsari, yang wilayahnya berada di sekitar semburan lumpur Lapindo, resah karena tempat tinggal mereka berubah jadi tidak layak huni karena dampak ikutan lumpur Lapindo.

Saat ini di sekitar semburan lumpur muncul sejumlah fenomena rumah retak-retak, diduga akibat penurunan permukaan tanah (subsidence), air tanah yang berubah keruh, munculnya semburan gas bercampur air, dan gelembung-gelembung udara.

Wakil Bupati Sidoarjo Saiful Ilah meminta warga sabar menunggu hasil kerja Tim Investigasi bentukan pemprov. ”Untuk mendapatkan data yang akurat tentang dampak lumpur Lapindo di sembilan desa itu dibutuhkan proses tidak sebentar. Saya harap warga bersabar menunggu satu-dua minggu ini,” kata Saiful.

Diminta menunggu

Kepala Humas Badan Pelaksana Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo Achmad Zulkarnain kemarin menyatakan akan membantu Tim Verifikasi sebatas memberikan data awal dan data pendukung. ”Mengenai data substansial seperti kualitas udara dan air, penurunan permukaan tanah, semburan gas dan air, serta gelembung-gelembung udara, Tim Verifikasi diharapkan menginvestigasi sendiri agar bisa mengetahui secara langsung masalahnya,” kata Zulkarnain. (A13)

25 Maret 2008

Warga Pindah Makam Takut Terendam Lumpur

Warga Pindah Makam Takut Terendam Lumpur

Monday, 24 March 2008
Sidoarjo - Surya-Nasib warga korban lumpur asal Desa Besuki Kecamatan Jabon, kini semakin merana. Setelah harta bendanya diterjang lumpur Lapindo, kini mereka resah karena makam leluhurnya juga terancam amblas akibat direndam lumpur. Sejumlah warga, kini sibuk memindahkan jasad keluarganya yang semula dimakamkan di kompleks pemakaman Dusun Ginonjo Desa Besuki Jabon. Karena kompleks pemakaman ini, sudah masuk dalam peta terdampak, dan akan dijadikan kolam penampungan lumpur.
Saat ini, lokasi kompleks makam tersebut masih aman dari terjangan lumpur, karena jaraknya sekitar 300 meter dari tanggul terdekat di Desa Besuki.

Sebelumnya, makam Desa Siring Kecamatan Porong, yang sudah ditenggelamkan lumpur panas, sebagian ahli waris juga pernah membongkar makam dan memindahkan ke makam yang lebih aman. Namun, banyak juga ahli waris yang membiarkan makamnya hilang ditelan lumpur panas.
Salah satu warga yang kini sibuk memindahkan jasad keluarganya di Makam Dusun Ginonjo Desa Besuki, adalah

H Mukan, warga Desa Trompoasri Kecamatan Jabon.
Menurutnya, ia sengaja memindahkan sejumlah jasad keluarganya telah dikubur puluhan tahun dari terjangan
lumpur, agar anak cucunya kelak selalu mengingat dan tahu keberadaan makam leluhurnya. “Agar anak cucu kami tahu keberadaan leluhur dan kerabatnya yang telah meninggal,” kata H Mukan kemarin.

Untuk membongkar sekaligus memindah lima makam keluarganya, H Mukan mengaku telah mengeluarkan dana Rp 11 juta. Ke lima jasad leluhurnya tersebut, dipindah ke makam Dusun Dekaton Desa Kedungcangkring Selatan, Jabon.
Lima makam keluarganya itu adalah, Mbah Sariman yang telah dikubur Selama 36 tahun, Mbah Mariyam dikubur 30 tahun, Sanaji sudah dikubur 22 tahun Mulyati, dikubur 31 tahun (orang tua H Mukan), dan Sunarsih (kakak H Mukan) yang baru dikubur 3,5 tahun. iit

Hari Ini Porong Diblokade

Hari Ini Porong Diblokade

Monday, 24 March 2008
Sidoarjo - Surya-Jalan raya Porong, kembali akan diblokade warga dari 9 desa di Kecamatan Tanggulangin dan Porong, Senin (24/3). Aksi tersebut dilakukan warga, untuk menuntut agar wilayahnya masuk dalam peta terdampak seperti halnya warga korban lumpur yang sudah masuk peta. Aksi warga Porong ini, pernah dilakukan beberapa pekan lalu dengan tuntutan yang sama yakni agar wilayahnya masuk dalam peta terdampak.

Namun, dari usulan 11 desa agar masuk peta terdampak, pemerintah rupanya hanya mengabulkan tiga desa saja. Yakni Desa Besuki, Kedungcangkring dan Pejarakan Kecamatan Jabon. Sedang wilayah lainnya yang juga terdampak lumpur belum mendapat penanganan serius.

Aksi blokade yang akan dilakukan Senin (24/3), akan melibatkan ratusan warga dari Desa Gempolsari, Ketapang, Kedongbendo, Kalitengah Kecamatan Tanggulangin. Desa Mindi, Siring Barat, Jatirejo, Glagaharum, Plumbon Kecamatan Porong.
Bambang Kuswanto salah satu koordinator aksi dari Siring Barat, mengatakan untuk melakukan aksi ini pihaknya sudah mengirim surat pemberitahuan ke Polsek Tanggulangin dan Polsek Porong.

"Surat pemberitahuan sudah kami kirim, tinggal kegiatannya besok (hari ini)” jelas Bambang Kuswanto, Minggu (23/3) malam.
Menurut Bambang, bentuk aksi tersebut adalah dengan turun ke ruas Jl Porong, mulai di bawah bekas jembatan tol hingga Jembatan Porong. Nantinya, seluruh warga dari sembilan desa tersebut, akan melakukan aksi di wilayahnya sendiri-sendiri.

Ia mencontohkan, warga Siring Barat akan melakukan aksi dengan menutup Raya Porong di wilayah Desa Siring. Warga Desa Mindi, akan bergerak ke Selatan tujuannya menutup Jembatan Porong. "Kami turun jalan untuk menuntut hak kami sebagai korban lumpur, agar juga mendapat perhatian dari pemerintah," paparnya.

Suprapto, warga Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin menambahkan, dari pertemuan terakhir yang dilakukan Sabtu (22/3) malam, warga sudah komitmen untuk terus melakukan perjuangan agar wilayahnya masuk peta terdampak untuk mendapatkan ganti rugi.
"Kami sudah komitmen untuk terus berjuang, termasuk dengan melakukan aksi di Jalan Raya Porong, sampai tuntutan kami dipenuhi," kata Suprapto.

Ditanya sampai kapan aksi tersebut dilakukan, Bambang mengakui belum tahu sampai kapan aksi penutupan jalan dilakukan. "Kami ingin gubernur atau pejabat BPLS tahu kondisi kami, dan tuntutan kami dipenuhi," lanjutnya.
Sementara itu Kapolsek Tanggulangin AKP Samsul, yang dihubungi semalam mengakui, sudah menerima surat pemberitahuan terkait aksi yang akan dilakukan warga Porong. "Kami sudah menerima pemberitahuan itu dan sudah kami teruskan ke pejabat yang lebih atas, yang jelas dari kepolisian sudah siap untuk mengamankan jalannya aksi," terangnya. iit

24 Maret 2008

Pompa Lumpur Rusak BPLS Rekom Spillway

Pompa Lumpur Rusak BPLS Rekom Spillway

Saturday, 22 March 2008
Sidoarjo - Surya-Setelah mangkrak selama enam bulan, saluran pembuangan lumpur (Spillway) di Desa Pejarakan Kecamatan Jabon, direkomendasi Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) agar kembali difungsikan. “Secara lisan kami sudah mengutarakan hal ini kepada Lapindo, agar spillway bisa difungsikan lagi, resminya nanti kami akan berkirim surat,” jelas Humas BPLS Akhmad Zulkarnain, Jumat (21/3).
Alasan untuk memfungsikan kembali spillway, kata Izul panggilan Akhmad Zulkarnain, karena lokasi kolam penampungan (pond) yang ada di sisi utara pusat semburan makin menumpuk.

Aliran lumpur panas yang sebelumnya diarahkan ke Utara, karena posisi tanggul di pusat semburan yang lebih rendah dari pond yang berada di sisi Selatan, menyebabkan lumpur tak bias diarahkan ke Selatan. Bahkan pihak BPLS harus membuat sudetan, agar lumpur dapat mengalir ke Utara.

Tapi dalam minggu -minggu terakhir, posisi tanggul di sisi Utara makin kritis karena ketinggian lumpur yang terus naik dan mendekati bibir tanggul. Akibatnya sudetan tersebut Jumat (21/3) ditutup lagi, dan lumpur diarahkan ke Selatan.
Menurutnya, kalau lumpur dibiarkan mengalir ke Utara tanpa terkontrol, kawasan Jalan Raya Porong dan Rel KA serta Desa Kedungbendo dan Gempolsari bisa terancam lumpur. “Apalagi hujan deras saat ini intensitasnya sedang naik,” ujar Izul.

Selain kondisi kolam penampungan, sejumlah pompa penyedot lumpur yang selama ini dioperasikan untuk mempompa lumpur dan membuangnya ke Kali Porong banyak yang berhenti beroperasi karena rusak.
Ia mencontohkan, tiga pompa penyedot lumpur yang berada di pond intake Desa Pejarakan, hanya satu saja yang beroperasi. Dua pompa lainnya rusak, sementara 7 pompa lainya yang berada disepanjang tanggul titik 35 - 41 dua diantaranya juga rusak. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat, spillway ini dapat kembali difungsikan untuk mengurangi beban yang ada di kolam penampungan,” lanjutnnya.
Selain mempersiapkan secara teknis beroperasinya spillway, nantinya di pond intake yang saat ini lumpurnya sudah mengering akan dibuat alur kanal sehingga lumpur panas dari pusat semburan dapat mengalir di pond tersebut.
Sebelumnya, Yuniwati Teryana Vice President PT Lapindo Brantas Inc, sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap pembuangan lumpur ke Kali Porong, sudah merencanakan untuk menyiapkan 20 pompa jenis slurry pump.
Pihaknya mengakui, upaya pembuangan lumpur melalui spillway yang menelan dana hingga Rp 35 miliar disiapkan oleh Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur (TPSL), ternyata tidak dapat berjalan maksimal dan sering terkendala. Selain itu pembungan lumpur melalui spillway juga salah sasaran karena yang lebih banyak dibuang adalah airnya. iit

21 Maret 2008

Dua kemungkinan kubah lumpur ambles

Dua kemungkinan kubah lumpur ambles

Ditulis Oleh dad
Rabu, 19 Maret 2008
Sidoarjo- Amblesnya kubah lumpur di section 45 tanggul cincin pusat semburan dini hari kemarin (19/3) membuat BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) untuk menilitinya, hasilnya ada 2 kemungkinan yang terjadi penyebab menurunnya kubah ambles. Kemungkinan yang pertama adalah amblesnya lumpur disebabkan karena lumpur mengalir keutara menyebabkan volume menurun dan tanggul terkikis selebar 3 meter. “Alasan ini kurang masuk akal karena selama ini belum terjadi seperti selama lumpur dialirkan ke utara,” terang Humas BPLS, Achmad Zulkarnaen saat meinjau lumpur yang ambles. (18/3) Sedangkan kemungkinan yang kedua adalah akibat lumpur yang terus keluar membuat kondisi bawah tanah rusak dan akibat tidak mampu menahan lumpur yang berada dipermukaan menyebabkan ambles. Dari kondisi lapangan tampak jelas jika jarak antara lumpur dipermukaan dengan bibir tanggul ring 1 sekitar 3 meter. “Gerowongnya tanah menyebabkan tanah turun,” simpul Izul sapaan Zulkarnaen. “tapi kita tetap akan meniliti,” tambah Izul. Akibat lumpur yang ambles membuat BPLS extra hati-hati dan semaksimal mungkin untuk melakukan upaya penanggulan dan pengaliran lumpur,” terang Izul. “Volume lumpur masih tetap bergejolak dan tidak ada penurunan volume yang keluar jadi kita tetap terus melakukan upaya penanggulan dan pengaliran,” tukas Izul. Dari hasil pantuan volume lumpur yang keluar bekisar antara 90.000 m3/hari sampai 140.000 m3/hari.

Tanggul cincin ambles 3 meter

Tanggul cincin ambles 3 meter

Ditulis Oleh dad
Selasa, 18 Maret 2008

Sidoarjo- Pukul 01.00 dini hari tadi tanggul ring 1 pusat semburan mengalami ambles Sofian menambahkan jika tanggul di ring 1 sulit untuk ditinggikan karena sering mengalami ambles.

Setiap harinya tanggul mengalami ambles 1,5 cm jadi sangat sulit ditinggikan,” terang Sofian.

BPLS saat ini tengah memperbaiki tanggul yang jebol dengan penambahan sirtu dan sandbag ditanggul yang rawan ambles.

19 Maret 2008

Teliti Sebelum Membeli Rumah

Teliti Sebelum Membeli Rumah

DALAM sepuluh tahun terakhir muncul banyak kasus penipuan oleh segelintir pemain properti terhadap konsumen. Umumnya terjadi di DKI Jakarta dan sekitarnya. Praktik penipuan ini tidak banyak diadukan ke polisi karena konsumen umumnya memilih menyelesaikan sendiri masalahnya.

Menilik kasus-kasus yang muncul, umumnya dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama, penipuan. Kedua, mutu bangunan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Ketiga, lahan tempat rumah atau apartemen itu dibangun bermasalah. Keempat, lingkungan sangat buruk, tandus, tidak ada pepohonan, tak ada air bersih, banyak penyamun, dan berisik.
Kasus pertama, penipuan. Ini terjadi karena pengembangnya nakal.

Pengembang merilis brosur cakep lalu menunjukkan areal luas yang akan digunakan. Untuk meyakinkan pembeli, pengembang busuk ini membangun kantor proyek yang dingin dan wangi juga rumah contoh yang keren. Rumah contoh diisi dengan perabot mahal sehingga perumahan itu terkesan berkelas. Padahal, perabot-perabot itu umumnya pinjaman dari perusahaan furnitur. Perabot itu akan ditarik kembali jika sudah tiba masanya.

Pembeli awam dan beritikad baik biasanya langsung tertarik dan kemudian membeli. Pembeli ini lalu menuturkan kepada teman-temannya bahwa ia membeli properti bagus di lokasi kelas atas. Kawan-kawannya pun tertarik dan ikut membeli.

Tiga bulan kemudian, tidak tampak aktivitas apa-apa di lokasi proyek. Enam bulan juga demikian. Pemimpin proyek dihubungi, tetapi selalu menyatakan proyek segera dikerjakan. Dan untuk meyakinkan pembeli,alat-alat berat didatangkan. Truk tanah berdatangan untuk mengangkut tanah galian. Ada pula crane yang tampak sibuk. Pembeli
bisa disabarkan.

Akan tetapi, ternyata, setahun, dua tahun, bahkan tiga tahun kemudian rumah dan apartemen yang dijanjikan tidak dibangun. Ketika pembeli sadar bahwa mereka ditipu, pengembang itu sudah kabur. Para pembeli gigit jari dan berusaha mengejar pengembangnya. Namun, tidak jelas perburuan itu sampai kapan dapat dituntaskan.
Kasus kedua, mutu bangunan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Kasus seperti ini paling sering terjadi, umumnya berkaitan dengan kualitas. Misalnya, kusen untuk pintu dan jendela, baru dua bulan dipakai sudah rontok karena dimakan rayap.

Menyedihkan sebab rumah baru ditempati dua bulan kusen sudah hancur digerogoti rayap. Ini bisa terjadi karena kualitas kayu amat buruk (dibeli dengan harga murah agar pengembang untung besar) atau karena kontraktor bangunan tak melakukan perawatan awal atas kusen. Mestinya kontraktor mengoles beberapa bahan antirayap agar usia kusen lebih lama.

Pintu dan jendela pun demikian, biasanya dari kayu murah. Seorang pembaca pernah menelepon Redaksi Kompas dan menuturkan begini. Ia membeli rumah di perumahan menengah ke atas. Hal yang mengejutkan, pintu dan jendelanya berderit kalau dibuka. Dua bulan kemudian, pintu dan jendela sulit dibuka. Ketika pembaca ini membuka dengan melakukan tarikan keras, kayu pintu dan jendela malah ambrol.

Selain kusen, pintu dan jendela, banyak materi lain yang tidak sesuai spek, tak sesuai dengan yang ada dalam rincian bahan di brosur dan penyampaian lisan. Lantai rumah yang mestinya kualitas nomor satu diganti menjadi kualitas nomor dua. Kamar mandi kloset duduk diganti menjadi kloset jongkok. Tangga yang mestinya dari kayu jati diganti
menjadi kayu samarinda. Ini memang hal-hal yang menjengkelkan.

Kasus ketiga, lahan tempat rumah atau apartemen berdiri juga kerap bermasalah. Tiba-tiba datang orang yang mengaku sebagai pemilik sejati lahan yang ditempati warga. Ini bisa saja terjadi karena persoalan tanah di negeri ini cukup rumit.

Pada sisi lain kerap terjadi, pengembang memperoleh tanah itu tidak dengan jalan lurus sehingga sesekali terjadi gugatan atas kepemilikan tanah itu. Bisa jadi pembeli rumah/apartemen yang beritikad baik tak menemui masalah apa-apa, tetapi masalah lainnya kerap menerbitkan rasa tidak nyaman.

Kasus keempat, lingkungan buruk karena pengembang tidak mempunyai visi tentang lingkungan. Yang ada di benak para pengembang jenis ini hanyalah urusan keuntungan dan keuntungan. Ini membuat mereka tak ramah terhadap lingkungan. Mereka enggan membangun drainase, danau buatan untuk penampungan air, taman, sumur resapan, dan kawasan hutan perumahan.

Manakala pengembang tidak mau rugi karena menjual rumah murah meriah (untung tipis), mestinya pengembang membuat pusat penampungan air bersih. Membangun sumur resapan agar air tanah yang bersih
senantiasa terisi.

Hikmah
Hikmah apa yang bisa dipetik dari pelbagai kasus ini? Pengembang harus lebih jujur, beritikad baik, dan profesional. Pengembang yang mengabaikan tiga aspek ini tak pernah berumur panjang. Pada saatnya publik tahu dan pengembang tersebut akan ditinggalkan konsumen. Pengembang itu mendapat label hitam dan proyek apa pun yang akan dibangun kelak tidak akan dipercaya konsumen.

Bagi para pembeli rumah dan apartemen hendaknya memerhatikan beberapa hal penting sebagai berikut.
1. Pastikan status tanah proyek perumahan, rumah bandar atau apartemen, bersih dari semua kasus tanah.
2. Jangan mudah tergoda brosur, rumah contoh, dan rayuan gombal tim pemasaran rumah. Pembeli mesti yakin pengembang itu bonafide atau tidak, punya banyak utang, dan kasus pidana atau tidak. Kalau pengembangnya bermasalah, sebaiknya pembeli mencari jalan aman, yaitu carilah pengembang bereputasi tinggi.
3. Ketika membeli rumah bersikaplah kritis dan teliti. Tanyakan segala hal yang Anda ingin tahu. Sepanjang pertanyaan Anda rasional, tidak perlu sungkan bertanya. Tanya spek bangunan, lantainya dibuat dari apa, pintudan kusen pakai kayu apa, dapur dan kamar mandi seperti apa, dan seterusnya. Lebih baik bertanya sekarang daripada
menyesal kemudian. Ada juga baiknya kalau Anda membuat perjanjian dengan pengembang bahwa mereka akan menggunakan bahan-bahan bangunan berkualitas amat baik (dengan rincian). Jika Anda dirugikan karena pengembang wanprestasi, mintalah ganti rugi.
4. Kalau bangunan sudah jadi, cek bangunan itu, apakah sudah sesuai dengan komitmen pengembang. "Kejar" pengembang untuk mengganti materi yang rusak, atap atau kamar mandi yang bocor. Atau rumah sama sekali tidak mempunyai air.
5. Jika membeli rumah dengan tunai, pastikan bahwa Anda mendapat diskon sangat menyenangkan. Ada pengembang yang berani memberi diskon 10 persen. Pengembang yang sedang promosi atau ingin proyeknya cepat selesai biasanya berani memberi diskon hingga 15 persen.
6. Kalau membayar dengan cicilan, hendaknya berbicara dengan jelas dan rinci dengan pihak pengembang. Berapa uang mukanya (biasanya 30 persen), kapan harus dilunasi, bisa berapa kali dicicil, dan berapa persen untuk KPR.
7. Teliti baik-baik rumah yang Anda beli, apakah terletak di lokasi strategis atau terpencil. Bagaimana aksesnya, lalu lintasnya macet atau tidak? Tidak bijaksana kalau Anda berpikir "tidak apalah rumahnya jauh dari kantor atau jauh sekali dari sekolah anak-anak. Toh ada jalan tol".
8. Pilihlah perumahan yang menjadikan lingkungan sebagai isu utama. Sangat bagus kalau Anda memilih perumahan yang terletak di kawasan berudara segar karena banyak pohon dan mempunyai air cukup. Hidup Anda jadi lebih sehat.

Win Menyerah Soal Tuntutan Warga Desa Terdampak

Win Menyerah Soal Tuntutan Warga Desa Terdampak

Wednesday, 19 March 2008
Sidoarjo - Surya-Kasus lumpur Lapindo, tampaknya benar-benar telah menguras energi Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Sampai-sampai ia angkat tangan tanda menyerah, saat menemui sejumlah perwakilan warga dari 9 desa yang mendesaknya agar desa mereka dimasukkan ke peta terdampak.
Dalam pertemuan yang digelar di pendopo kabupaten, Selasa (18/3), dengan suara berapi-api Bupati Win

mengakui pihaknya tak bisa berbuat apa-apa terhadap keputusan dari pemerintah pusat.
“Saya ini bukan malaikat. Saya juga bukan pemutus masalah ini, karena yang berwenang adalah pemerintah pusat,” tuturnya di hadapan perwakilan warga dan muspida.

Dia mengaku, sebenarnya telah memperjuangkan warga-warga dari tiga desa yakni Besuki, Kedungcangkring dan Pejarakan yang masuk peta terdampak agar pembayaran segera cair. Demikian pula dengan aspirasi dari 9 desa, yang menginginkan mereka juga masuk peta terdampak juga telah disampaikan.

“Waktu saya ke Jakarta dan ikut pertemuan dengan para menteri yang dipimpin Menko Kesra, saya sempat mengusulkan agar 9 desa itu masuk peta terdampak. Namun nyatanya, pemerintah hanya bisa menetapkan tiga desa itu saja,” tegasnya.

Tentu saja, dengan keputusan itu, kata Bupati Win, ia tak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya, dia adalah pejabat lokal yang secara struktural harus mengikuti keputusan dari pusat. “Saya sudah berjuang menyampaikan aspirasi, kalau tak ada hasil jangan tanya bupati. Saya sudah tak punya jalan keluar, dan tak sanggup lagi,” akunya.

Dia lalu mencontohkan, beberapa warga dari desa yang kena dampak lumpur pernah datang kepadanya untuk meminta bantuan berangkat ke Jakarta untuk bertemu Presiden RI dan DPR RI. Tapi setelah pulang, ternyata perwakilan warga itu juga tak mampu membawa hasil positif. “Warga saja tak menemui hasil, demikian pula dengan saya. Saya harus berjuang apa lagi,” tambahnya.

Emosi yang ditunjukkannya itu, diakui Bupati Win karena dia mendapat pressure baik dari pemerintah pusat, maupun dari warga yang kena lumpur. Mendengar langsung curhat Bupati Win, perwakilan warga 9 desa yang semula ngotot mendadak terdiam.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Jalaluddin Alham mengungkapkan, pihaknya tetap berusaha membantu masalah lumpur ini dengan adanya rapat paripurna untuk membentuk Pansus Lumpur pada 2 April.

“Adanya pansus nanti akan menjadi cara, agar masalah sosial ini bisa diselesaikan. Selain itu, aspirasi ini telah disampaikan ke pusat dan kami harus menunggu hasil karena semuanya perlu proses,” pungkasnya. sda

Relokasi Infrastruktur Molor Dana Dialihkan Ganti Rugi

Relokasi Infrastruktur Molor Dana Dialihkan Ganti Rugi

Tuesday, 18 March 2008
Sidoarjo - Surya-Relokasi infrastruktur di kawasan Porong dipastikan molor, karena proses pembebasan tanah masih belum berjalan atau nol persen. Padahal, pemerintah sudah menganggarkan dana sebesar Rp 500 M, untuk relokasi infrastruktur. Ini diungkapkan Wakil Ketua Komisi V DPR RI Hardi Soesilo, saat melihat kondisi infrastruktur di secara nasional, termasuk di Porong. “Ada tiga tim dari DPR RI yang melihat kondisi infrastruktur secara nasional. Selain tim saya di Porong, ada dua tim lain di Semarang dan Sumatera,” tuturnya saat melihat kondisi Porong dari atas bekas tol Porong - Gempol, Senin (17/3).

Hardi mengungkapkan, mendapat informasi proses pembebasan tanah tak berjalan semestinya karena tak ada kesesuaian harga, antara warga dan BPLS. “Proses pembebasan tanah memang tak berjalan maksimal, karena warga minta harga tanah sama dengan warga yang tanahnya terbenam lumpur,” paparnya.

Dia menuturkan, warga yang tanahnya akan dibebaskan untuk relokasi infrastruktur masih terpengaruh pada warga yang kena lumpur. Seperti harga tanah sawah, yang diminta Rp 120.000 per m2. padahal sesuai aturan yang ada harga tanah pada lumpur dan relokasi berbeda. “Dari adanya tim appraisal (tim penilai) lewat BPLS memang belum ada titik temu. Makanya nanti akan ada tim appraisal ulangan, atas nama Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang akan menegosiasikan harga dengan warga, sehingga tak merugikan,” tandasnya.

Dengan belum adanya pembebasan tanah ini, maka kemungkinan relokasi infrastruktur baru akan dilakukan 2009.
Kemungkinan ini diungkapkan Hardi, karena sebenarnya DPR RI yang menginginkan pembebasan di Porong sudah selesai 2007 atau pertengahan 2008, sehingga pada 2009 sudah bisa difungsikan bersamaan dengan selesainya masalah sosial akibat semburan lumpur panas.

Padahal, pemerintah sudah menganggarkan dana sebesar Rp 500 M untuk relokasi infrastruktur yang rusak akibat semburan lumpur panas itu. Adanya hal ini membuat Komisi V yang menangani infrastruktur ini, mendesak pemerintah segera menyelesaikan relokasi infrastruktur di kawasan Porong.

“DPR sudah menyetujui anggaran untuk relokasi infrastruktur melalui APBN 2007 sebesar Rp 500 M, tetapi nyatanya sampai saat ini relokasi infrastruktur belum juga terealisasi,” ujarnya.

Menurut dia, dari anggaran sebesar Rp 500 M yang baru terserap sejumlah Rp 100 M. Sehingga, sisa anggaran sebesar Rp 400 M itu akan dikembalikan ke kas negara. Terkait belum terserapnya anggaran Rp 400 M itu, DPR mempertimbangkan akan dialihkan untuk ganti rugi di tiga desa yakni yang ada di luar peta terdampak yakni Desa Besuki, Desa Pejarakan dan Desa Kedungcangkring Kecamatan Jabon. Sehingga, pemerintah tinggal menambah anggaran Rp 200 M, karena untuk ganti rugi tiga desa itu diperkirakan mencapai Rp 700 M.

“Kalau anggaran itu belum terserap dan dikembalikan ke kas negara, apa tidak lebih baik digunakan untuk ganti rugi tiga desa itu. Ini yang akan dibicarakan di Jakarta,” paparnya.
Dalam kesempatan itu, anggota Komisi V DPR RI tak hanya menyorot lambannya relokasi infrastruktur dikawasan Porong. Namun, juga menyorot jalan rusak mulai kawasan Pantura, Jawa Tengah sampai Jawa Barat.

Dari pantauan Komisi V di beberapa ruas jalan yang rusak, penyebab utama jalan rusak bukanlah karena terendam banjir. Namun, lebih banyak disebabkan konstruksi jalan yang terkesan asal-asalan. “Kalau desain dan kosntruksi belum optimal, tentu berapapun dana yang dikucurkan akan sia-sia,” ujar anggota Komisi V DPR RI Abdullah Azwar Anas.

Untuk perbaikan jalan secara nasional, termasuk di Jatim, pemerintah menganggarkan dana Rp 2,7 triliun. Sedangkan dana yang dikelola Dirjen Binamarga, untuk jalan di seluruh Indonesia sebesar Rp 18 triliun. sda

16 Maret 2008

Bangun optimisme bisnis properti 2008

Bangun optimisme bisnis properti 2008

Melonjaknya harga minyak mentah dunia hingga melewati angka psikologis US$100 per barel dan 'kepastian' melambatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat memicu kekhawatiran merosotnya kinerja bisnis properti di Indonesia.

Keresahan ini beralasan, karena kenaikan harga minyak dunia turut merangsang kenaikan harga barang dan jasa. Sementara itu, ekonomi AS yang pada 2008 ini diperkirakan slow down, akan berdampak terhadap penurunan jumlah ekspor Indonesia ke negara adidaya itu.

Satu faktor lagi yang mungkin membuat pebisnis properti belum dapat tidur nyenyak adalah eskalasi persiapan Pemilu 2009. Hajatan lima tahun ini sedikit banyak akan menimbulkan gejolak sosial politik, bahkan yang ditakutkan adalah gangguan keamanan yang mengarah kepada kerusuhan.

Atas dasar itu, beberapa pengamat memperkirakan transaksi bisnis properti 2008 turun, meski tak secara tegas menyatakan berapa penurunannya.

Namun, dari sudut pandang pelaku bisnis properti yang bersentuhan langsung dengan pasar, saya menganggap kekhawatiran melambatnya kinerja bisnis properti 2008 sebagai dampak kenaikan harga minyak mentah dunia, melambatnya ekonomi AS, dan Pemilu 2009, adalah hal yang berlebihan.

Tetap bekerja

Pengalaman membuktikan di saat sektor bisnis lain terkapar akibat krisis dan gejolak ekonomi, 'mesin' bisnis properti tetap bekerja.

Malah di titik nadir terendah ketika 1998 puncak krisis moneter, di mana pasar primer sektor properti kolaps, sayap bisnis pasar sekunder dari aset-aset properti bank bermasalah dipasok oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) secara berlimpah.

Pada 1998 BPPN menguasai aset negara senilai lebih Rp600 triliun, sekitar 75%-nya berupa tanah dan bangunan semua jenis properti.

Lewat lelang terbuka 1999 sampai 2002, BPPN menggairahkan pasar properti, pada saat para pengembang tiarap. Baru pada 2001 hingga sekarang, pasar primer di semua subsektor properti terus menunjukkan peningkatan pertumbuhan positif.

Bukankah ini membuktikan bahwa dalam kondisi apapun, bisnis sektor properti selalu menjanjikan? Apalagi seiring dengan kian stabilnya kondisi sosial, politik, dan keamanan yang mengindikasikan demokrasi dan keterbukaan atas informasi di Indonesia makin lebih baik. Jadi, tak alasan para pelaku bisnis properti pesimis.

Malah sebaliknya, bisa saja pesta demokrasi 2009 ini berdampak positif terhadap ekonomi. Sebab partai politik yang jumlahnya semakin banyak akan menggelontorkan dana yang diperkirakan puluhan triliun rupiah. Dengan begitu, banyak uang yang beredar di masyarakat. Untuk sewa gedung, buat koas, spanduk, iklan dan lain-lain.

Berdasarkan asumsi pemerintah, momentum perbaikan ekonomi diperkirakan terus berlanjut pada 2008 dengan proyeksi pertumbuhan 6,3%. Optimisme pemerintah ini yang dicapai pada 2007.

Optimisme ini didukung oleh faktor-faktor fundamental ekonomi yang relatif terkendali.

Perbaikan iklim usaha dalam dua tahun terakhir ini menunjukkan kemajuan signifikan. Kondisi makro ekonomi membaik. Nilai tukar rupiah stabil, suku bunga bank turun, inflasi terkendali, pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun sejak 2002 di atas 5%.

Optimisme itu juga ditopang oleh rencana pemerintah yang 'habis-habisan' akan merealisasi Rp42 triliun proyek infrastruktur.

Realisasi program-program itu kemungkinan tak lama lagi, sehubungan dengan tinggal dua tahun lagi masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla.

Kalau Rp42 triliun ini benar-benar digelontorkan 2008, bisa menjadi 'darah segar' bagi perekonomian Indonesia, yang imbasnya juga dinikmati oleh industri properti.

Peningkatan kinerja bisnis properti 2008 juga akan didongkrak oleh maraknya pembangunan rusunami (rumah susun sederhana milik) bersubsidi.

Pemerintah banyak memberi insentif bagi pengembang rusunami. Hasilnya, mulai akhir 2007 dan berlanjutan hingga kuartal ketiga 2008, transaksi unit rusunami akan mendominasi pasar properti.

Ramainya pembangunan rusunami ini berdampak positif terhadap sektor lain, terutama akan menggerakkan industri terkait, dan menyerap banyak tenaga kerja.

Jadi, meski ada kekhawatiran efek kenaikan harga minyak mentah dunia, skandal subprime mortgage di AS, dan Pemilu 2009, tapi alangkah baiknya kita para pelaku bisnis properti lebih memfokuskan kepada hal-hal positif.

Momen tepat

Bukan mustahil-ini yang kita kehendaki-tahun ini menjadi momen tepat bagi pebisnis properti melakukan ekspansi, investor 'memburu' properti yang prospektif, dan end user membeli pada saat harga properti belum naik.

Jangan tunggu 2009, karena akan terlambat. Dalam keadaan stabil-setelah pemilu berjalan mulus-harga properti akan melambung.

Kalau kita arif membaca situasi, properti 2008 akan mengalami stagnasi harga, terutama pada proyek-proyek primer. Walau ada kenaikan, itu tak banyak. Pengembang akan hati-hati menaikkan harga, di saat orang masih was-was terjadi apa-apa, terkait dengan Pemilu.

Dalam kondisi pasar seperti itu kenaikan harga tipis. Dalam kondisi pasar seperti itu, justru ini saatnya membeli properti. Pemilu 2009 berjalan stabil, ke depan kita bisa mereguk untung.

Dengan demikian bisa diprediksi transaksi properti 2008 akan naik sekitar 20%-30% dibandingkan dengan 2007.

Transaksi properti yang direkomendasi pada 2008, pertama adalah tanah sebagai bahan baku akan dikembangkan.

Namun perlu dipertimbangkan masalah akses, rencana tata kota, dan demografi tanah terkait dengan banjir yang melanda hampir seluruh wilayah Indonesia akhir-akhir ini.

Kedua, untuk investasi rumah bandar (townhouse) adalah pilihan paling menjanjikan, menyusul ruko, apartemen, serta pergudangan. Terakhir adalah mal dan trade center.

Semoga 2008 berjalan sesuai dengan skenario yang kita harapkan!

Pembelian Tanah Lapindo Tersandung UU Agraria

Minggu, 16 Mar 2008,
Pembelian Tanah Lapindo Tersandung UU Agraria

BPN Beri Dispensasi
JAKARTA - Pembayaran ganti rugi 80 persen kepada warga korban semburan lumpur menemui kendala. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menengarai pengalihan hak atas tanah berstatus hak milik kepada badan hukum (PT Minarak Lapindo/PT Lapindo Brantas) bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Kendala tersebut terungkap berdasar dokumen Laporan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tertanggal 13 Februari 2008. Laporan bertajuk Permasalahan Mendesak itu juga telah dibahas dalam rapat Dewan Pengarah BPLS yang dipimpin Ketua Dewan Pengarah BPLS/Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.

Laporan BLPS menyebutkan, dalam penuntasan jual beli tanah dan bangunan milik warga korban dengan status hak milik letter C dan pethok D, ditemukan indikasi yang bertentangan dengan ketentuan pasal 26 UU PA ayat 2 juncto pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah.

"Mengingat Lapindo Brantas Inc merupakan badan hukum yang termasuk tidak boleh melakukan transaksi jual beli tanah hak milik," tulis laporan BPLS yang ditandatangani Ketua BPLS Soenarso tersebut.

Pasal 26 ayat 2 UU Pokok Agraria menyebutkan, kegiatan jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain yang secara langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, WNI berkewarganegaraan ganda, atau badan hukum dinyatakan batal demi hukum. Selain pengalihan hak atas tanah dinyatakan batal demi hukum, hak atas tanah dinyatakan jatuh kepada negara dan seluruh pembayaran yang telah diterima pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Badan hukum yang dikecualikan dari ketentuan di atas, antara lain, bank-bank milik negara, perkumpulan koperasi pertanian, badan keagamaan, dan badan-badan sosial atas penunjukan menteri agraria/kepala Badan Pertanahan Negara. Dengan demikian, Lapindo Brantas maupun Minarak tidak termasuk badan usaha yang berhak membeli tanah berstatus hak milik.

BPLS juga khawatir pengalihan hak atas tanah itu tidak dapat dilaksanakan karena objek yang diperjualbelikan secara fisik tidak ditemukan akibat terendam lumpur. Dengan kondisi tersebut, BPLS khawatir Minarak Lapindo Jaya akan membatalkan atau menunda pemberian ganti rugi 80 persen yang dijadwalkan pada Mei mendatang.

"Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah harus membuat payung hukum agar pejabat pembuat akta tanah (PPAT) tidak melanggar ketentuan UU PA dalam pencatatan jual beli tanah dan lahan," tulis laporan BPLS.

Masalah lain yang dilaporkan BPLS, pengalihan hak atas tanah itu bermasalah dalam pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sesuai ketentuan UU No 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan (PPh), proses jual beli tanah dan bangunan yang terendam lumpur dikenakan BPHTB dan PPh.

Namun, korban maupun Minarak Lapindo Jaya menolak membayar BPHTB dan PPh atas ganti rugi yang dinyatakan dalam kegiatan jual beli hak milik atas tanah tersebut. "Karena itu, pemerintah harus membuat payung hukum yang memberikan keringanan pembayaran BPHTB dan PPh atas proses jual beli hak atas tanah korban," tulis laporan BPLS.

Ketika dikonfirmasi, Djoko Kirmanto mengakui sejumlah hambatan dalam penuntasan ganti rugi warga tersebut. Namun, Djoko memastikan masalah itu sudah diselesaikan kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). "Sehingga pembayaran 80 persen itu sudah bisa dibayarkan Mei mendatang," katanya.

Kepala BPN Joyo Winoto membenarkan pernyataan Djoko Kirmanto tersebut. Menurut dia, BPN telah mendispensasi pengalihan hak atas tanah milik korban pada PT Minarak Lapindo Jaya. Hal itu dilakukan untuk mempermudah pembayaran kekurangan pengalihan hak atas tanah sebesar 80 persen.

"Dalam pasal 26 UU Pokok Agraria dimungkinkan pengalihan hak milik kepada badan usaha. Menurut ketentuan Perpres (Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS) juga mungkin. Jadi, dari segi sertifikasi, tidak ada masalah karena sudah saya settlement-kan," ujarnya.

Joyo tidak bersedia merinci dispensasi yang diberikan kepada Minarak. Meski demikian, dia memastikan bahwa setelah pembayaran ganti rugi 80 persen selesai, lahan milik korban lumpur bisa disertifikatkan. "Ada dua pilihan, apakah mau disertifikatkan satu-satu bidang tanah atau langsung dalam satu hamparan," kata dia.

Bila sertifikasi dilakukan satu-satu bidang, ujar Joyo, hal tersebut tampaknya susah karena batasnya sudah tertimbun lumpur. Namun, bila disertifikasi satu hamparan, itu terkendala masuknya sejumlah fasilitas umum. "Di bawah lumpur itu kan juga ada sekolah, ada jalan, ada kuburan. Itu harus dikeluarkan dulu, baru dapat disertifikatkan. Jadi, berbagai hambatan tersebut sebenarnya isu yang tidak perlu karena kita sudah settle-kan. Masyarakat tidak perlu khawatir," tegasnya. (noe/tof)

Bangunan Baru Tak Dibayar

Bangunan Baru Tak Dibayar

Saturday, 15 March 2008
Sidoarjo - Surya-Aksi bangun rumah yang dilakukan sejumlah warga Desa Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki Kecamatan Jabon, setelah desanya masuk dalam peta terdampak, mendapat respon dari Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Lembaga yang dipercaya pemerintah mengurusi soal lumpur Lapindo ini memutuskan, bahwa bangunan baru yang dibangun setekah 27 Februari 2008, nantinya dipastikan tidak akan mendapat ganti rugi.

Seperti diberitakan kemarin, di Desa Pejarakan, Jabon, sedikitnya ada lima bangunan baru yang didirikan warga. Tiga bangunan berhenti dikerjakan, dalam kondisi setengah jadi, sementara dua bangunan lainnya masih tetap dikerjakan. Bahkan salah satu bangunan yang sedang dikerjakan, lokasinya sangat rawan dan sudah dinyatakan masuk peta terdampak.

Keputusan BPLS untuk tidak memberi ganti rugi terhadap bangunan baru, diputuskan setelah mereka melakukan rapat koordinasi menyikapi ulah sebagian masyarakat yang tiba-tiba membangun kembali rumahnya meski kondisinya sangat rawan. "Keputusan rapat pimpinan BPLS, semua bentuk bangunan yang didirikan setelah 27 Februari tidak akan dibayar ganti rugi," jelas Zulkarnain, Jumat (14/3).

Penegasan ini, kata Zulkarnain, karena BPLS khawatir warga justru merugi jika tetap mendirikan bangunan. "Warga jangan berspekulasi, untuk mendapat ganti rugi yang lebih besar. Daripada merugi karena tidak akan dibayar lebih baik dihentikan saja pembangunan itu," sarannya.

Pemerintah yang telah mengalokasikan Rp 2,6 triliun dari APBN 2008 untuk membayar ganti rugi lahan dan bangunan milik warga di tiga desa tersebut, kata Zulkarnain, sudah memiliki data berikut foto lokasi sebelum kawasan tersebut dinyatakan masuk peta terdampak.

Karena itu, pembayaran ganti rugi yang akan dilakukan tetap didasarkan pada data tersebut. "Jadi kalau ada bangunan baru yang didirikan, maka tidak akan mendapat ganti rugi," tambahnya.
Irsyad, salah satu kerabat pemilik bangunan yang berada persis di sebelah barat spillway yang jaraknya cuma 200 meter dari kolam penampungan (pond intake) mengatakan, tetap membangun karena yakin semburan lumpur dapat dihentikan. "Kami yakin semburan lumpur dapat dihentikan, seperti yang akan dilakukan GMLL ( Gerakan Menutup Lumpur Lapindo)," ujarnya. iit

Rumah Mendadak Miring, Warga Mindi Barat Resah

Rumah Mendadak Miring, Warga Mindi Barat Resah

Saturday, 15 March 2008
Surya - Sidoarjo-Warga Desa Mindi Kecamatan Porong kembali resah. Setelah terkena semburan air bercampur gas, kini giliran warga di Mindi Barat, yang termasuk wilayah Desa Mindi, dibuat khawatir. Pasalnya, banyak rumah warga posisinya mendadak miring. Bahkan ada rumah, yang lantai keramiknya tiba-tiba terkelupas hingga keramiknya terpental serta dindingnya retak-retak.
Ponari, pemilik rumah di RT03 RW02, Mindi Barat mengatakan, kejadian aneh itu terjadi sejak dua minggu lalu. Awalnya tanah di dalam rumahnya menggelembung seperti bangunan polisi tidur, lalu turun sendiri.

“Akibatnya, sekarang keramiknya terpental dari tempatnya semula,” kata Ponari, Jumat (14/3).
Selain itu, tambah Ponari, tembok rumahnya yang dibangun sekitar 12 tahun lalu juga retak-retak. Diduga, musibah alam ini disebabkan imbas dari semburan lumpur.

Selain rumah Ponari, kejadian aneh juga menimpa rumah Suwarno. Bahkan, ruang tengah rumah Suwarno tampak miring. Awalnya ia mengetahui dari keramik yang retak, sekitar 5 cm, selanjutnya sekitar seminggu ini lantai tersebut juga ambles. "Tanahnya ambles, padahal ini masih baru sampai keramiknya retak," tunjuk Suwarno.

Warga sudah melaporkan kejadian ini kepada pihak desa setempat. Sebab Desa Mindi tidak masuk dalam terdampak, mengingat lokasinya yang 1,5 km dari pusat semburan. "Kami minta perhatian dari pemerintah, karena rumah kami bukan wilayah yang terdampak," kata Suwarno, yang setiap hari memantau kondisi rumahnya.

Bangunan lain yang juga mengalami kondisi serupa, adalah sebuah toko bangunan dan rumah milik Iksan, yang juga masih berada satu RT.
Humas BPLS Akhmad Zulkarnain, mengaku belum mengetahui adanya rumah warga yang mengalami retak itu. "Kami belum mengetahui, akan kami cek," jelasnya. iit

Masuk Peta Terdampak, Berlomba Bangun Rumah

Masuk Peta Terdampak, Berlomba Bangun Rumah

Friday, 14 March 2008
Sidoarjo - Surya-Meski belum jelas ganti rugi yang akan diterimanya, namun sejumlah warga Desa Pejarakan, Kedungcangkring dan Besuki Kecamatan Jabon, berspekulasi membangun rumahnya dengan harapan memperoleh ganti rugi yang lebih besar. Zainal Rifai warga Desa Pejarakan, Jabon ini tengah mendirikan bangunan di lahannya lokasinya persis di sebelah barat Spillway (saluran pembuangan). Menurutnya ia sudah membangun rumahnya itu sebelum kawasan tersebut terimbas lumpur, dengan membangun pondasinya lebih dulu.

“Dari awal kami sudah ingin membangun rumah di atas lahan ini, tapi berkali-kali terancam lumpur dan rencana saya itu sempat terhambat,” terang Irsyad kerabat Rifai, Kamis (13/3).
Ia mengelak, jika ada maksud lain dari pembangunan rumahnya itu. Terutama ganti rugi, setelah desanya masuk dalam peta terdampak. “Menurut kami sekarang sudah cukup aman, dan lagi dananya baru ada sekitar satu bulan terakhir ini, sekarang baru bisa membangun,” katanya.

Alwi, warga lainnya yang juga membangun rumah di kawasan Desa Pejarakan , Jabon yang juga masuk dalam kawasan peta terdampak mengatakan, ia hanya ingin melanjutkan pembangunan rumahnya yang dulu pernah berhenti. "Sekarang ini kami hanya meneruskan membangun rumah, tidak ada maksud lain,' ujarnya.

Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Ahmad Zulkarnain mengatkan pihaknya tidak berani menuding, tindakan warga itu sebagai spekulasi. Namun ia meminta , agar warga segera menghentikan pembangunan rumah itu.
Karena pemerintah sudah menetapkan kawasan tersebut dalah masuk peta area terdampak, meski mekanisme dan kapan pencairannya belum ada kejelasan.
“Kami meminta warga menghentikan pembangunan rumah, karena mekanisme dan teknis pemberian ganti rugi juga belum jelas,” paparnya.

Ditambah, usai ditetapkan keputusan pemerintah tersebut ada tim yang sudah turun ke lapangan untuk mengambil foto kondisi lahan dan rumah yang masuk dalam kawasan terdampak itu.
Pihaknya khawatir, jika pemberian ganti rugi itu nantinya tidak sesuai dengan harapan warga. Karena perhitungan disesuaikan dengan data yang ada di lapangan.

Seperti diketahui, nilai ganti rugi lahan dan rumah yang akan diberikan kepada warga tiga desa itu akan disetarakan dengan warga korban lumpur sebelumnya. Untuk lahan sawah, mendapat ganti rugi sebesar Rp 125.000 per m2, lahan pekarangan Rp 1 juta per m2, dan bangunan senilai Rp 1,5 juta per mr2. iit

13 Maret 2008

Terus Awasi Lumpur, Biar Interpelasi Diulur

Terus Awasi Lumpur, Biar Interpelasi Diulur

GATRA, Sabtu siang 23 Februari 2008, pukul 13.30 WIB.
Beberapa warga Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, duduk dengan wajah letih. Sebagian lagi merebahkan tubuh di bawah pohon rindang di sekitar tenda tempat mereka mengungsi, di sepanjang jalan tol Porong-Gempol. Para ibu muda berusaha ceria menemani anak balita mereka bermain.

Sejumlah pemuda berjubel di gardu dan pos pengungsi. Mereka tampak kelelahan. Tubuh mereka penuh peluh. Sebagian lagi sedang serius memelototi televisi yang menayangkan wawancara langsung seorang anggota DPR tentang lumpur Lapindo. "Dia itu apa buta, tidak bisa lihat kondisi warga," seorang warga berkomentar kesal melihat pernyataan sang anggota dewan.

Warga Desa Besuki memang tengah sensitif. Emosi mereka gampang tersulut. Termasuk pada saat menyaksikan komentar anggota DPR di TV. Dua peristiwa beruntun membuat mereka terpukul berat. Minggu malam 10 Februari silam, akibat tanggul jebol, Desa Besuki diterabas arus lumpur panas. Ada tiga desa lain yang senasib: Kedungcangkring, Pajarakan, dan Mindi.

Status mereka pun masih terkatung-katung. Mereka berada di luar "peta terdampak" yang luasnya mencapai 642 hektare, versi 22 Maret 2007. Akibatnya, warga Besuki tidak mendapat hak yang sama dengan warga desa lain yang masuk peta terdampak, seperti diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

Ketika mereka tengah memperjuangkan nasib, belum lagi sepekan kemudian, Selasa 19 Februari, Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (P2LS) DPR menyampaikan laporan yang menyesakkan dada. Tim itu sama sekali tidak menyinggung, apalagi memperjuangkan, nasib kawasan korban lumpur yang berada di luar kawasan "peta terdampak", seperti Desa Besuki, Kedungcangkring, Pajarakan, dan Mindi.

Tim DPR malah lebih sibuk mengarahkan opini pada status lumpur Sidoarjo sebagai "fenomena alam", bukan akibat kesalahan pengeboran Lapindo Brantas. Itu tampak dalam pernyataan pers beberapa anggota tim, seperti Nizar Dahlan (PBB) dan Agusman Effendy (Partai Golkar), sebelum pembacaan resmi laporan pada paripurna DPR, Selasa pekan lalu.

Bila itu bukan kesalahan perusahaan, melainkan akibat "fenomena alam", konsekuensinya, Lapindo bisa saja terbebas dari seluruh tanggungan. Semua pendanaan dampak lumpur jadi beban keuangan negara. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penanggung jawab usaha dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi bila dapat dibuktikan bahwa rusaknya lingkungan hidup itu akibat bencana alam (Pasal 35 ayat 2).

Selasa pagi pekan lalu, menjelang pembacaan laporan tim DPR, pesan singkat dari mantan pejabat bidang bencana masuk ke redaksi Gatra: "Udah baca UU Bencana? Yang berhak menetapkan bencana atau bukan emangnya DPR? Ingat lho, UU itu inisiatif DPR!" UU Nomor 24/2007 itu menyebutkan, yang berwenang menetapkan status dan tingkatan bencana adalah pemerintah (Pasal 7). Dan sejauh ini, belum ada penetapan definitif status lumpur Sidoarjo.

Begitu laporan Tim P2LS dibacakan, butir yang paling sibuk diklarifikasi pimpinan tim memang seputar status semburan lumpur tadi: bencana alam atau bukan. "DPR tidak punya kewenangan menyatakan itu bencana atau tidak," kata Tjahjo Kumolo, wakil ketua tim asal PDI Perjuangan, yang bertugas membacakan laporan.

Priyo Budi Santoso, wakil ketua tim asal Golkar, menyerahkan penentuan status lumpur itu pada mekanisme lain, termasuk proses pengadilan. Urusan status itu bukan agenda Tim P2LS DPR. "Saya minta, ini tidak dipolitisasi. Percayalah, kami bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan korban Lapindo," ungkap Priyo, Ketua Fraksi Golkar DPR, yang Agustus 2007 paling getol mengusulkan pembentukan tim ini, untuk meredam desakan interpelasi.

Dengan laporan itu, kata Priyo, Lapindo tetap bertanggung jawab menyelesaikan 80% sisa pembayaran jual-beli lahan. Laporan sembilan halaman yang dibacakan pada rapat paripurna Selasa lalu itu memang menyatakan, penyebab dan sumber semburan lumpur belum diketahui secara pasti.

Hanya saja, dikemukakan, sebagian besar ahli geologi berpendapat, lumpur Sidoarjo merupakan "fenomena alam", peristiwa mud-vulcano, yang sama sekali tidak terkait dengan kegiatan manusia. Disampaikan pula, terdapat pandangan lain yang menganggap lumpur itu sebuah underground blow-out (semburan liar bawah tanah).

Pemihakan sikap DPR tampak pada laporan butir ketiga. Dengan mencermati fakta bahwa volume lumpur yang keluar sekitar 1 juta barel per hari, terus-menerus, dalam waktu lama, Tim P2LS berpendapat, hal itu, "Semakin memperkuat pendapat para ahli bahwa semburan lumpur di Sidoarjo memang fenomena alam."

Pada butir paling akhir, dipaparkan panjang lebar putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menolak gugatan YLBHI (27 November 2007), dan PN Jakarta Selatan yang menolak gugatan Walhi (27 Desember 2007). Dua PN itu menilai lumpur Sidoarjo sebagai fenomena alam dan tidak berkorelasi dengan aktivitas pengeboran Lapindo.

Dengan bersemangat, Tim P2LS memberi catatan bahwa putusan dua PN itu "memberikan pengabsahan terhadap pendapat para ahli yang menyatakan bahwa semburan lumpur Sidoarjo adalah fenomena alam". Kecenderungan sikap tim DPR ke arah "fenomena alam" itu tercermin sejak bagian pertama laporan.

Ditandaskan, semburan lumpur panas itu pertama muncul pada 29 Mei 2006, hanya selang dua hari setelah terjadi gempa di Yogyakarta (27 Mei 2006). Lokasi semburan ditekankan tidak berada di sumur eksplorasi Banjarpanji-1 milik Lapindo, tapi 200 meteran di luar areal. Ini khas argumen pokok para penganut pandangan bahwa semburan lumpur itu akibat bencana alam.

Kental sekali nuansa laporan tim itu hendak mengarahkan opini, meski secara "malu-malu", bahwa semburan lumpur Sidoarjo adalah akibat bencana alam, tidak terkait dengan aktivitas pengeboran Lapindo. Tapi pimpinan tim berkelit. Mereka menyangkal dikatakan hendak menetapkan kasus ini sebagai bencana alam.

Itulah sebabnya, anggota DPR asal PAN, Dradjad H. Wibowo, bereaksi keras terhadap cara tim mempermainkan status "fenomena alam". Agar konsisten, kata Dradjad, DPR tidak bisa mengutip terus pendapat sebagian ahli. "Kalau kita menyebutkan ini fenomena alam, maka kita sudah mengarahkan ini sebagai fenomena alam," ujar Dradjad.

Hal itu bisa berimplikasi anggaran. "Kalau ini fenomena alam, maka Lapindo Brantas tidak bertanggung jawab mengeluarkan satu sen pun. Sehingga Rp 1,3 trilyun yang sudah dikeluarkan Lapindo harus diganti negara," katanya. Dradjad minta agar kalimat yang mengarah pada kata "fenomena alam" di-drop. Tapi, hingga akhir rapat, tidak tampak keputusan eksplisit bahwa ungkapan "fenomena alam" itu dihapus.

Komentar pedas juga dilontarkan Permadi, anggota Fraksi PDI Perjuangan. "Laporan ini seperti humas Lapindo. Benar-benar membela pengusaha. Sama sekali tidak disinggung, penyebab utama adalah pengeboran tanpa casing. Kalau tidak ada pengeboran, lumpur itu tidak akan keluar karena 3.000 meter di bawah tanah," kata Permadi.

Laporan tim itu memang tak terlihat tajam mengkritik kinerja Lapindo. Misalnya dalam pembayaran jual-beli tanah tahap awal 20% yang sempat tersendat. Padahal, faktor itulah yang membuat presiden sampai harus berkantor di Sidoarjo, Juni 2007. Energi kritik laporan itu lebih diarahkan ke elemen pemerintah saja: BPLS.

Ida Fauziyah, mantan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa, mengingatkan bahwa Tim P2LS itu merupakan kompromi pimpinan fraksi pada paripurna 21 Agustus 2007, sebagai opsi pendahuluan untuk "mengulur" interpelasi DPR. Kinerja tim itu akan jadi ukuran. Bila tidak memuaskan, usulan interpelasi DPR akan dilanjutkan.

Usulan Ida itu membuat pimpinan sidang, Soetardjo Soerjogoeritno, menawarkan dua opsi: melanjutkan interpelasi atau memperpanjang kerja Tim P2LS. "Setuju, ya, interpelasi?" ujar Mbah Tardjo --panggilan Soetardjo Soerjogoeritno-- santai. Sesaat, tak ada anggota sidang yang memberikan interupsi. Dan palu pun diketokkan.

Pasca-paripurna, di antara sesama anggota DPR terjadi polemik tentang tafsir ketok palu Mbah Tardjo tadi. Satu kubu menyimpulkan, laporan tim ditolak sehingga agenda berikutnya, interpelasi dijalankan. Kubu lain, yang dimotori para pimpinan Tim P2LS, berkesimpulan lain: interpelasi nanti dulu.

Dengan demikian, pada saat warga korban lumpur lebih pening memikirkan kepastian ganti rugi yang semestinya mereka terima, para elite DPR lebih bersemangat berpolemik urusan jadi-tidaknya interpelasi. Sampai-sampai, Jumat pekan lalu, harus dilakukan pertemuan antarpimpinan DPR dan pimpinan fraksi untuk menyamakan persepsi tentang arti ketukan palu Mbah Tardjo tadi.

Dicapailah kesepakatan bahwa Tim P2LS diperpanjang masa kerjanya. Soal interpelasi? "Rapat konsultasi itu menegaskan bahwa interpelasi secara on call mengikuti apa yang akan dihasilkan Tim P2LS," kata Priyo, Ketua Fraksi Golkar. Agenda sidang paripurna bukan menolak atau menerima laporan Tim P2LS, melainkan meneruskan kerja tim.

Priyo mengklaim, dengan adanya tim itu, penyaluran dana 20% mengalami percepatan. Tentang nasib kawasan di luar peta terdampak, DPR belum bisa memutuskan. "Akan kami bahas nanti. Harus mempertimbangkan APBN karena ditanggung APBN," Priyo memaparkan.

Ia juga membantah bahwa tim tidak tegas menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas semburan lumpur itu. "Kami memerintahkan agar Lapindo memberikan jaminan aset dalam pembagian dana tunai yang setara kepada para korban. Dan kami tuntut agar itu dibagikan sesuai dengan jadwal," ujar Priyo.

Tim, kata Priyo, juga berusaha mencegah agar Lapindo tidak bisa minta ganti dana yang mereka keluarkan ke pemerintah bila kelak pengadilan menyatakan bahwa Lapindo tidak bersalah. "Kami minta Lapindo membuat perjanjian agar nanti dana itu tidak ditagihkan ke pemerintah," Priyo menambahkan.

Perjanjian itu sengaja dibuat karena ada kekhawatiran, kalau di kemudian hari PT Lapindo dinyatakan tidak bersalah, maka tidak akan melakukan upaya hukum untuk menagih pada pemerintah atas semua dana kerugian yang dibayarkan kepada masyarakat.

Anehnya, soal jaminan aset dan perjanjian itu tidak terdapat dalam laporan sembilan halaman yang dibacakan Tjahjo Kumolo. Tuntutan agar Bakrie menjaminkan asetnya, untuk memastikan kelancaran pembayaran sisa 80%, adalah salah satu tuntutan wakil FKB dalam Tim P2LS. Sebab ketika pembayaran yang 20% dulu terseok-seok.

Materi itu, bersama lima item lain usulan FKB, menjadi bahan debat alot dalam pembahasan dua hari sampai larut malam di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Jumat-Sabtu, 2-3 Februari lalu. Menurut Abdullah Azwar Anas, anggota FKB yang menjadi anggota Tim P2LS, desakan lain FKB adalah agar pandangan ahli geologi yang dicantumkan tidak hanya satu opini, yang menyebut semburan itu fenomena alam.

Harus dikemukakan pula opini yang berbeda bahwa itu akibat kesalahan pengeboran yang tidak memakai casing. Lalu sikap pada BPLS dan Lapindo diminta lebih tegas, tidak lunak. Proses hukum harus didorong agar tidak berhenti. Termasuk proses pidana yang sedang ditangani Kepolisian Daerah Jawa Timur.

FKB juga minta kepastian status desa-desa seluas sekitar 400 hektare yang ada di luar peta terdampak, yang kini juga terendam lumpur. "Mereka harus mendapat perlakuan sama dengan desa yang berada dalam peta terdampak, karena nasib mereka juga sama," kata Azwar Anas. Resettlement warga terdampak lumpur pun dijamin.

Dalam rapat di Kemang itu, tinggal FKB yang belum sepakat atas rumusan laporan. Hingga FKB memutuskan tidak ikut menandatangani laporan. "Kami juga minta agar tidak mencantumkan kata fenomena alam," ujar Effendi Choirie, Ketua FKB. "Sampai beberapa saat sebelum sidang paripurna, kami tidak mau menandatangani laporan itu."

Akhirnya FKB mau menandatanganinya setelah substansi beberapa usulan diterima tim, meski belum memuaskan. "Daripada kami walk out, tidak ikut tanda tangan, lebih baik kami tetap masuk agar kami bisa terus ikut mengawasi. Toh, substansi usulan kami sudah banyak diterima," katanya.

Bagi Firman Wijaya, pengacara Walhi, yang dikalahkan Lapindo di PN Jakarta Selatan, sikap DPR yang menyebut lumpur Lapindo sebagai fenomena alam merupakan "kutukan" bagi warga Sidoarjo yang jadi korban. "Itu melukai rasa keadilan masyarakat Sidoarjo," ujarnya. DPR semestinya tidak mendelegitimasi proses di pengadilan, yang kini belum final.

Firman tengah menyiapkan memori banding setelah dikalahkan PN Jakarta Selatan pada kasus lumpur Lapindo. Menurut dia, DPR seharusnya mendorong proses hukum di pengadilan, bukan membuat kesimpulan sendiri. "Kesimpulan DPR itu keluar dari asumsi-asumsi hukum, karena proses hukum belum final," ungkap Firman.

Meski DPR bilang semburan lumpur itu fenomena alam, Vice President Public Relations PT Lapindo Brantas, Yuniwati Teryana, menegaskan bahwa pihaknya tetap menjalankan kewajiban sesuai dengan kerangka Perpres 14/2007 tentang BPLS. Di sana diatur tentang pembagian kewajiban Lapindo dan pemerintah. "Kami tidak akan berubah," katanya kepada Rach Alida Bahaweres dari Gatra.

Hingga Desember 2007, untuk penanggulangan sosial, upaya penutupan sumber semburan, realisasi uang muka 20% jual-beli tanah, dan lain-lain, Lapindo telah mengeluarkan Rp 2,83 trilyun. Mulai Mei 2008, sisa pembayaran 80% akan dilaksanakan.

Ketua BPLS, Mayor Jenderal (purnawirawan) Sunarso, juga mengaku tidak terpengaruh oleh kesimpulan DPR. "Kami tetap akan bekerja keras untuk secepatnya menyelesaikan apa yang menjadi beban tugas kami," katanya kepada Syamsul Hidayat dari Gatra. Yakni tugas sebagaimana diatur dalam Perpres 14/2007.

Asrori S. Karni, Mukhlison S. Widodo, Deni Muliya Barus, dan M. Nur Cholish Zaein (Surabaya)
[Nasional, Gatra Nomor 16 Beredar Kamis, 28 Februari 2008]

12 Maret 2008

Tanggul Lumpur Panas Kritis Imbas Hujan Deras

Tanggul Lumpur Panas Kritis Imbas Hujan Deras

Tuesday, 11 March 2008
Sidoarjo - Surya-Sejumlah titik tanggul penahan lumpur panas kini kritis, setelah hujan deras yang mengguyur kawasan Porong dan sekitarnya Minggu (9/3). Bahkan hingga Senin (10/3) sekitar pukul 16.00 WIB, sebagain titik tanggul di pond intake sudah terjadi rembesan. Kondisi ini diperparah lagi dengan spillway (saluran pembuangan) yang tak bisa difungsikan.
Sementara, ketinggian sebagain besar kolam penampungan lumpur di tanggul utama, sudah mencapai 20 - 30 cm di bawah bibir tanggul.

Sedangkan kondisi di pond intake Desa Pejarakan Kecamatan Jabon, yang berhadapan langsung dengan spillway ketinggian lumpur sudah mencapai sekitar 15 hingga 25 cm.
Sejumlah petugas harus bekerja keras, untuk mengalirkan lumpur panas ke Kali Porong. Namun sayangnya, hanya ada dua pipa yang mengalirkan lumpur dari pond intake ke Kali porong.sementara pipa pembuangan lainnya masih belum beroperasi. Bahkan sejumlah pipa lainnya, tenggelam karena debit air Kali Porong yang sedang naik.

“Tingginya volume lumpur di kolam penampungan ini, akibat hujan deras yang mengguyur kawasan Porong kemarin. Saat ini, beberapa titik ketinggian lumpur hampir mendekati bagian paling atas tanggul,” kata Khusairi, staf humas Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), kepada wartawan kemarin.

Meski kondisi kritis, kata Khusairi, pihaknya tidak dapat berbuat banyak. Namun untuk mengurangi beban air lumpur, BPLS akan mengalirkannya ke lokasi spillway. “Kondisi terakhir masih aman, tapi kalau hujan deras lagi, dan volume air di kolam penampungan meningkat, kami khawatir tanggul tidak kuat lagi menahan tekanan lumpur,” terang Khusairi.

Upaya untuk meninggilkan tanggul, dilakukan antara lain dengan mengirim puluhan truk pengangkut material sirtu. Namun armada tersebut mengalami kesulitan untuk sampai ke titik tanggul utama, karena kondisi jalan yang licin. Untuk mengangisipasi sementara, dengan menggunakan sand bag (karung pasir) untuk menahan lumpur agar tidak meluber.
Sebelumnya, PT Lapindo Brantas Inc, (LBI) yang berwenang dalam manajemen pengaliran lumpur ke Kali Porong, sudah menyiapkan pompa lumpur jenis Slurry Pump. Pompa ini untuk menggantikan posisi spillway yang sudah tidak dapat difungsikan. iit

Istighosah Sebulan Mengungsi

Istighosah Sebulan Mengungsi

Tuesday, 11 March 2008
Sidoarjo - Genap sebulan, warga Desa Besuki Kecamatan Jabon menjadi pengungsi di bekas jalan tol Porong - Gempol KM 40, akibat rumahnya terendam lumpur Lapindo. Saat ini, warga mulai resah menyusul belum jelasnnya ganti rugi yang sudah dijanjikan pemerintah juga belum dikucurkan.
Salah satu koordinator warga Desa Besuki Ali Mursyid, mengatakan warga yang saat ini masih bertahan di tenda pengungsian meminta agar ada percepatan pembayaran ganti rugi, setelah kawasan tersebut dinyatakan dalam area yang mendapat ganti rugi dari pemerintah.

“Kalau pemerintah meminta warga segera meinggalkan pengungsian, sebaiknya ganti rugi juga secepatnya diberikan, agar warga mempunyai cukup uang dan hidup normal,” katanya.
Di tengah-tengah kebingungan, warga Besuki menggelar Istighotsah memperingati genap 1 bulan rumah mereka terendam lumpur, di bekas Jalan Tol porong - Gempol KM 40, Senin (10/3) sore.
Warga tidak mau beranjak dari tenda penampungan dan enggan membersihkan rumah, karena memang lumpur yang sudah masuk rumah sangat sulit dibersihkan. Selain itu warga juga ingin memperlihatkan jika kawasannya memang sudah tidak layak untuk ditempati. iit

10 Maret 2008

Konsumen Harus Teliti ”Track Record” Pengembang

JAKARTA – Bagi sebagian orang nasihat teliti dulu sebelum membeli barangkali terkesan klise. Namun tidak bagi calon konsumen yang sedang mencari tempat tinggal rumah atau apartemen. Harus teliti benar mengenai siapa pengembangnya, kualitas bangunannya dan sebagainya, sehingga tidak menyesal di kemudian hari.

Simak data dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Tahun 1998 terdapat 243 kasus pengaduan yang masuk diantaranya pengembang yang melarikan uang konsumen, tidak membangun tepat waktu sesuai PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli), dan lain-lain. Setahun kemudian yakni 1999, jumlah pengaduan yang masuk ke YLKI berkurang menjadi 196 kasus, dan terakhir tahun 2003 lalu jumlah kasus developer bermasalah turun drastis menjadi 29 kasus.
Dari statistik di atas terlihat ada perkembangan positif dengan berkurangnya pengaduan yang masuk. Namun itu belum bisa dijadikan ukuran karena bisa jadi masih banyak lagi konsumen yang enggan mengadukan nasibnya ke YLKI atau mengambil langkah hukum melalui pengacara (lawyer) komersial. Ini diakui sendiri oleh Sudaryatmo, pengurus harian YLKI yang membidangi properti.
“Bisa jadi demikian. Karena kita di YLKI punya kebijakan hanya menangani klaim pengaduan yang melibatkan layanan publik (public service), korbannya jumlahnya banyak atau massal dan konsumen tidak sanggup membayar penga-cara komersial. Untuk pelanggaran di properti kelas menengah dan atas, kita tidak tangani,“ ujarnya.
Dengan kata lain masalah yang muncul ke permukaan lebih banyak terkait dengan masyarakat miskin dan properti yang bermasalah adalah perumahan sederhana. Ba-gaimana dengan perumahan menengah dan atas? Tampaknya korban enggan mengadukan masalahnya ke YLKI sehingga sangat masuk akal jika tidak masuk hitungan.

Sanksi
Selama ini, ada tiga hal pokok yang selalu menjadi biang masalah dan selalu dijumpai pada kasus properti atau pengembang bermasalah. Pertama, developer membawa lari uang nasabah. Kedua, pengembang tidak membangun atau sengaja mengulur waktu penyelesaian properti, dan ketiga adalah developer tidak mengantongi izin yang lengkap dari pemerintah daerah tetapi sudah berani menjual.
Untuk dua hal pertama, REI (Real Estat Indonesia) selaku organisasi yang mewadahi para developer, secara berterus-terang mengakui adanya anggota yang nakal.
“Saya akui bahwa ada anggota kami yang nakal. Bagaimanapun, sulit sekali bagi kita mengawasi satu per satu anggota kita yang jumlahnya ribuan. Lebih-lebih lagi yang di daerah. Jika ada konsumen yang dirugikan, silakan adukan ke REI dan kita akan ambil tindakan tegas. Bahkan bila perlu kita akan coret keanggotaannya dari REI,“ kata Yan Mogi, Ketua Umum DPP REI dalam sebuah seminar properti, di Jakarta, Kamis (11/3).
Hal senada juga diutarakan oleh Willy Prananto, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan DPD REI DKI Jakarta. Dikatakannya, REI memiliki satu komisi penyelesaian anggota yang akan menjembatani masalah atau pengaduan dari konsumen terhadap pengembang yang bersangkutan. Jika ada masalah, REI akan memanggil developer tersebut dan meminta pertanggungjawaban. Sanksi berupa pencoretan keanggotaan dari REI, menurut Yan Mogi dan Willy sangat mungkin.
“Bagaimanapun kita ini menjalankan bisnis jasa. Saya bisa bertahan di bisnis ini lebih dari 20 tahun karena kepercayaan yang saya tanamkan ke konsumen. Jika ada pengembang yang melakukan tindakan tidak terpuji, percayalah selamanya konsumen akan tahu boroknya si developer itu,“ tutur Yan Mogi.

Perizinan
Bagaimana dengan masalah perizinan? Menarik membicarakan hal ini. Dari sisi pemerintah, khususnya Pemda DKI Jakarta, telah menegaskan bahwa pengembang harus terlebih dahulu mengantongi SIPPT (Surat Izin Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT) sebelum mendirikan bangunan. Tanpa surat tersebut, sama artinya pengembang belum memiliki kekuatan hukum atas lahan yang dibangun.
“Bangunan yang berdiri tanpa SIPPT berarti juga tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Jadi harus dibongkar,” tegas Nurfakih Wirawan, Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, di Jakarta, Kamis (11/3).
Menurutnya, SIPPT yang berlaku bagi lahan komersial lebih dari 5.000 meter persegi tersebut mengacu pada UU Tata Ruang. Dan itu katanya, harus ada sebelum penjualan dilakukan. Dengan mengantongi SIPPT tersebut berarti pengembang secara sah menguasai lahan tersebut yang dibuktikan antara lain dengan sertifikat tanah, kesesuaian dengan tata kota, dan tidak ada sengketa dengan pihak ketiga.
“Jadi, kalau suatu proyek properti dijual tanpa SIPPT, yang berarti juga tanpa IMB, tidak ada kepastian bagi konsumen. Lahan properti tersebut ada kemungkinan tak bisa dikembangkan karena tersangkut masalah hukum. Ini harus dicegah agar konsumen tidak merasa tertipu,” katanya.
Kepala Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (P2B) DKI Jakarta, Djumhana, juga telah mengingatkan bahwa Pemda DKI Jakarta akan bertindak tegas terhadap pelanggaran izin baik untuk apartemen maupun pusat perbelanjaan.
“Developer yang tidak memiliki IMB jelas telah melanggar Perda nomor 3/1999 akan dikenakan sanksi denda atau bentuk lain, sesuai dengan ketentuan dalam Perda itu,” katanya. Dari data yang tercatat di Pemda, pelanggaran terbanyak adalah penjualan atau launching proyek komersial tanpa terlebih dahulu mengurus SIPPT.

Curi ”Start”
Praktik yang banyak terjadi sekarang ini, tidak jarang pengembang telah menjual atau memasarkan produk propertinya padahal belum 100 persen mengantongi izin. REI melalui Willy Prananto beragumen bahwa untuk mengurus ijin waktunya terlalu lama padahal buat pengembang, timing adalah kunci untuk sukses menjual rumah atau apartemen. Jika pengembang hanya menunggu kepastian izin keluar, amat mungkin proyek properti tersebut akan gagal atau kurang diminati.
Namun hal itu dibantah oleh Muh Fausal Kahar, Kepala Sub Dinas Pengkajian Struktur Ruang Kota, Dinas Tata Kota, Pemda DKI Jakarta. Diakuinya, jangka waktu pengurusan izin cukup lama karena harus memenuhi semua prosedur hukum agar kelak tanah yang dikembangkan tidak menimbulkan masalah, yang pada gilirannya akan merugikan konsumen.
Ditambahkannya bahwa saat ini di DKI Jakarta sangat sulit menemukan lahan ribuan meter persegi yang dimiliki oleh satu pihak. Tanah yang mencapai luas 5.000 meter persegi umumnya dimiliki oleh beberapa orang bahkan mungkin ratusan orang. “Peruntukannya juga bisa bermacam-macam. Karena itu, Pemda harus memastikan bahwa peralihan hak atas tanah itu sudah berjalan sesuai dengan hukum dan juga sesuai dengan permintaan pengembang. Ini yang membuat waktu pengurusan memakan waktu lama,” katanya.
Tindakan pengembang yang mencuri start dengan cara menjual sebelum izin didapat, menurut Yan Mogi, dilakukan sekedar untuk menguji pasar. “Apabila minat konsumen cukup tinggi, proyek akan diteruskan. Tetapi jika tidak proyek akan dibatalkan dan uang konsumen akan dikembalikan. Kita pun selaku pengembang sebisa mungkin menuruti ketentuan yang berlaku termasuk harus memperoleh izin seperti SIPPT dan IMB,” katanya.

Untung-untungan
Hanya saja tindakan tersebut dinilai oleh Djumhana dan YLKI sebagai tindakan untung-untungan dan membahayakan konsumen. Apalagi sering kali developer tidak mengakui sudah ada pembelian, pembayaran uang muka atau down payment (DP) atau akad kredit. Inilah yang katanya, digunakan oleh developer agar tidak terjerat oleh Perda yang mengharuskan mengantongi SIPPT terlebih dahulu.
“Cara-cara mengatasnamakan uji pasar itu sangat membahayakan konsumen karena konsumen ibarat membeli kucing dalam karung. Nyatanya, banyak konsumen yang terkecoh dan menjadi korban. Dan mereka ini tidak saja dari kalangan masyarakat kecil, tetapi juga kalangan atas yang berpendidikan luar negeri,” ucap Sudaryatmo.
Kondisi di atas memberi sinyal tegas kepada calon konsumen atau pembeli properti baik rumah, apartemen atau properti komersial lain untuk lebih meneliti produk yang dipasarkan. Kenali lebih dalam pengembang bersangkutan, bagaimana track record-nya. Jangan pernah sekalipun berpatokan pada brosur semata.
Seorang rekan SH pernah berujar,“Ini karena maraknya konsep pre-sales, jual brosur. Kalau begini masalahnya, kita kembalikan saja ke konsep dahulu yaitu membeli rumah yang secara fisik ada di depan mata. Setidaknya bisa mengurangi masalah yang memu-singkan kepala,“ ujarnya.

Spillway Rp 35 M Mangkrak

Spillway Rp 35 M Mangkrak

Saturday, 08 March 2008
Sidoarjo - Surya-Proyek Spillway (saluran pembuangan) senilai rp 35 miliar, yang dibangun oleh Timnas Penanggulangan Semburan Lumpur (TPSL), kini mangkrak. Selain itu, juga proyek bola-bola beton juga tidak lagi difungsikan. Sebagai gantinya, upaya pembuangan lumpur ke Kali Porong kini menggunakan 20 pompa jenis slurry pump yang dipusatkan di Desa Pejarakan Kecamatan Jabon.
“Kami melakukan upaya pembuangan kembali lumpur ke Kali Porong, dengan menggunakan slurry pump. Sementara spillway era timnas yang menghabiskan dana Rp 35 miliar sudah kami tinggalkan,” terang Yuniwati Teryana, Vice President PT Lapindo Brantas Inc (LBI).

Pihaknya mengakui, jika upaya pembuangan lumpur melalui spillway yang disiapkan TPSL, ternyata tidak dapat berjalan maksimal dan sering terkendala. Selain itu, pembuangan lumpur melalui spillway juga sering salah sasaran karena yang lebih banyak dibuang adalah airnya.

Sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap pembuangan Lumpur ke Kali Porong, maka Lapindo akan menyedot lumpur dengan menggunakan slurry pump melalui pipa-pipa. “Spillway kami tinggalkan, dan sekarang menggunakan slurry pump,” tambahnya.

Terpisah, Deputi Operasional Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) , Sofyan Hadi, menjelaskan dari rencana 20 unit slurry pump yang akan dioperasionalkan, sekarang yang sudah datang 12 unit. “Tapi baru 8 yang difungsikan, untuk membuang lumpur ke Kali Porong,” terangnya.
Rangkaian pompa penyedot, yang biasa digunakan untuk pertambangan batubara dan emas ini itu akan dipasang di pond intake Desa Pejarakan, selanjutnya melalui pipa-pipa air dan lumpur itu akan dibuang ke Kali Porong.
Untuk setiap unit pompa, dapat menyedot lumpur dengan kapasita 0,2 m3/detik hingga 0,8 m3/detik. “Kalau ada 20 unit pompa dan dilakukan bersamaan, maka lumpur yang dibuang cukup besar,” imbuhnya. iit

05 Maret 2008

Mindi Tuntut Ganti Rugi

Mindi Tuntut Ganti Rugi

Wednesday, 05 March 2008
Sidoarjo - Setelah warga Desa Siring Barat melakukan pendataan semburan baru, yang berada di wilayahnya, kini giliran warga Desa Mindi Kecamatan Porong juga melakukan hal yang sama, Selasa (4/3). Aksi ini, sebagai bentuk protes, karena wilayahnya tidak masuk dalam area yang akan mendapat ganti rugi dari pemerintah. “Kami sekadar menunjukkan kepada pemerintah, jika wilayah kami juga banyak semburan baru yang mudah terbakar, dan berbahaya,” papar Imam Rahman, warga Desa Mindi.
Menurutnya, seperti daerah lainnya, Mindi juga terdapat banyak semburan baru, yang juga mengeluarkan gas mudah terbakar. Semburan itu muncul di perumahan warga, juga di kawasan persawahan.

Masih menurut Imam, warga Mindi saat ini resah dan kecewa karena kawasan warga itu tidak dimasukkan dalam skema wilayah yang akan mendapat ganti rugi.
Sementara itu, perwakilan Pansus Lumpur DPRD dan perwakilan 11 desa yang belum masuk dalam skema kawasan mendapat ganti rugi kemarin berangkat ke Jakarta. Tito Pradopo, wakil ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo yang ikut mendampingi warga mengatakan, setelah ditetapkan tiga desa yang akan mendapatkan ganti rugi justrui menimbulkan masalah baru di tingkat bawah. iit

Warga Besuki Mengemis Karena Jatah Makan Dihentikan

Warga Besuki Mengemis Karena Jatah Makan Dihentikan, Ada Warga Yang Linglung

Wednesday, 05 March 2008
Sidoarjo - Surya-Tiga hari sejak jatah makan mereka dihentikan tanpa alasan yang jelas, sebanyak 211 KK atau 803 jiwa warga Desa Besuki Kecamatan Jabon yang kini mengungsi di bekas jalan tol Km 40 - 41, mulai kelimpungan. Satu-satunya alternatif untuk menyambung hidup, adalah dengan cara meminta belas kasihan pengguna jalan yang melintas di jalan alternatif Desa Besuki. Namun warga tidak mau, bila dikatakan kegiatan ini semata-mata mengemis.

“Kami meminta belas kasih dari pengendara, yang kebetulan lewat di jalur alternatif ini. Semua hasil bantuan ini, buat makan semua warga yang mengungsi,” kata Muhadi, seorang warga yang mencegat sejumlah mobil yang lewat.

Warga yang meminta sumbangan tidak hanya kaum lelaki, para ibu-ibu dan anak-anak juga dilibatkan untuk mendapatkan uang dari pengguna jalan. Pendapatan hari Selasa (4/3) kemarin, mencapai Rp 150.000. “Yang Rp 100.000 untuk beli bahan makanan, sisanya dibagi untuk beli rokok,” terang warga lainnya.
Sebenarnya, kata Muhadi, warga sudah berusaha meminta Pemkab Sidoarjo melalui Camat Jabon agar jatah makan tetap dibagi seperti sebelumnya. Bahkan saat ke Kecamatan Jabon, Senin (3/3), pengungsi melakukan aksi demo meski hingga sekarang hasilnya belum ada kejelasan. “Katanya kami akan diberitahu jawaban dari bupati sore hari, tapi sampai sekarang juga belum ada kejelasan,” katanya.

Kadis Kesejahteraan Sosial Pemkab Sidoarjo Muslikh Yasin, mengaku tidak dapat berbuat banyak mengatasi masalah warga Desa Besuki. Menurutnya, masalah ini sudah di luar kewenangannya. “Ini sudah di luar kewenangan kami,” kelitnya. iit

Tuntut Jatah Makan Ratusan Ibu dan Anak Demo

Tuntut Jatah Makan Ratusan Ibu dan Anak Demo

Tuesday, 04 March 2008
Sidoarjo - Surya-Ratusan ibu-ibu disertai anaknya, serta para lelaki warga Desa Besuki Kecamatan Jabon, berunjukrasa di Kantor Kecamatan Jabon, Senin (3/3). Mereka menuntut, agar jatah makan mereka selama mengungsi di bekas tol KM 40 -41, tidak dihentikan. “Kami hanya minta, agar jatah makan kami tetap diberikan. Sebab kami tidak punya harta benda lagi,” kata Fitriyah, bersama dua anaknya.
Fitriyah adalah salah satu warga korban lumpur, yang saat ini tidak dapat berjualan lagi. Sebab lumpur meluber ke pemukiman dan lokasi sekolahan, dimana ia biasa berjualan. “Kami sekarang tidak mempunyai lagi tempat jualan, sehingga tidak ada penghasilan,” ujarnya.

Bahkan karena tidak ada pemasukan, Khotijah warga korban lumpur lainnya terpaksa harus menjual kompor miliknya untuk mendapatkan uang. “Kompor sudah dijual ke tukang rombeng, karena semuanya sudah habis,” katanya.
Camat Jabon, Ali Imron tidak dapat berbuat banyak menghadapi keluhan warganya, bahkan ia sempat terisak mendengar keluhan warganya. “Kami hanya bisa menampung dan menyampaikan hal ini ke yang lebih atas, tadi kami juga sudah kabarkan ini ke Pak Bupati, mudah-mudahan secepatnya ada kabar,” papar Ali Imron.

Di tempat terpisah, Kadis Kesejahteraan Sosial Muslikh Yasin menjelaskan pihaknya tidak mempunyai anggaran terkait penyediaan dana untuk pengungsi. “Kami tidak mempunyai anggaran untuk itu, dan tadi juga kami laporkan hal ini ke pak bupati,” tegasnya.

Sebelumnya, bantuan makan pengugsi itu diperoleh dari PT Lapindo. Namun ia belum tahu persis alasannya, jika saat ini bantuan makan tersebut tiba-tiba dihentikan. “Kami belum tahu kenapa dihentikan, dan tidak ada pemberitahuan,” imbuhnya.
Vice President Lapindo Brantas Inc. (LBI) Yuniwati Teryana mengatakan, pihaknya sangat prihatin dalam musibah ini. Namun untuk pengungsi di luar peta terdampak, menurutnya biaya sosial kemasyarakatan seharusnya ditanggung melalui APBN, yang difasilitasi Dinas Sosial Pemkab Sidoarjo / BPLS.
Sementara itu, sejumlah warga dari 11 desa, didampingi kades dan camat akan ke Jakarta, untuk menyampaikan aspirasi korban lumpur kepada DPR RI dan Presiden SBY.
Rencana ini adalah hasil pertemuan, antara 11 perwakilan desa bersama Ketua DPRD Sidoarjo, muspida terkait di Kantor DPRD Sidoarjo, Senin (3/3).
Para warga tersebut, berasal dari 11 desa yang tidak masuk peta terdampak lumpur Lapindo. Yaitu Desa/Kelurahan Ketapang, Kalitengah, Gempolsari, Kedungbendo Kecamatan Tanggulangin Desa/Kelurahan Glagaharum, Pamotan, Jatirejo Barat, Siring Barat, Renokenongo, dan Mindi Kecamatan Porong. Serta sebagan Desa Besuki
Dalam pertemuan itu, selain menerima laporan dari perwakilan warga, Ketua DPRD Sidoarjo Arli Fauzi, juga menyampaikan kalau DPRD menolak atas keputusan pemerintah yang hanya menetapkan tiga desa saja yang mendapatkan ganti rugi akibat terdampak lumpur. Yaitu desa Besuki, Kedungcangkring dan Pejakaran.
Menurutnya, keputusan pemerintah pusat tidak salah, tapi hanya kurang sempurna. “Ini berarti keputusan yang ditetapkan tidak salah, tapi kurang sempurna karena tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Sebab ada beberapa desa yang terdampak, tapi tidak mendapat alokasi ganti rugi,” papar Arli Fauzi.
Berdasar kondisi di lapangan inilah, Arly juga akan turut ke Jakarta. “Kami sudah kirim surat untuk diagendakan bertemu dengan DPR RI, Menteri PU sebagai ketua dewan pengarah, dan terakhir direncanakan ketemu dengan Presiden,” terangnya.
Rida Kuswati, Kades Glagaharum yang kemarin mengkuti pertemuan mengatakan dari 20 RT yang ada, hanya 5 RT yang masuk peta terdampak. “Hal ini membuat warga lainnya, di luar 5 RT itu bertanya-tanya. Padahal kondisinya juga terancam, bila sewaktu-waaktu tanggul penahan lumpur itu jebol,” ungkapnya.
Wabup Sauful Ilah yang hadir dalam pertemuan itu, mendukung perjuangan warga korban lumpur. Saiful Ilah yang juga didaulat menjadi salah satu perwakilan warga mengatakan, Pemkab Sidoarjo akan mendukung dalam menyampaikan aspirasi warga korban lumpur. “Pemkab mendukung warga, untuk menyampaikan aspirasi ke pemerintah pusat dan DPR RI,” pungkasnya. iit

Warga Luar Peta Ke Jakarta

Warga Luar Peta Ke Jakarta

Tuesday, 04 March 2008
Sidoarjo - Surya-Sejumlah warga dari 11 desa, didampingi kades dan camat akan ke Jakarta, untuk menyampaikan aspirasi korban lumpur kepada DPR RI dan Presiden SBY. Rencana ini adalah hasil pertemuan, antara 11 perwakilan desa bersama Ketua DPRD Sidoarjo, muspida terkait di Kantor DPRD Sidoarjo, Senin (3/3).
Para warga tersebut, berasal dari 11 desa yang tidak masuk peta terdampak lumpur Lapindo. Yaitu Desa/Kelurahan Ketapang, Kalitengah, Gempolsari, Kedungbendo Kecamatan Tanggulangin Desa/Kelurahan Glagaharum, Pamotan, Jatirejo Barat, Siring Barat, Renokenongo, dan Mindi Kecamatan Porong. Serta sebagan Desa Besuki

Dalam pertemuan itu, selain menerima laporan dari perwakilan warga, Ketua DPRD Sidoarjo Arli Fauzi, juga menyampaikan kalau DPRD menolak atas keputusan pemerintah yang hanya menetapkan tiga desa saja yang mendapatkan ganti rugi akibat terdampak lumpur. Yaitu desa Besuki, Kedungcangkring dan Pejakaran.

Menurutnya, keputusan pemerintah pusat tidak salah, tapi hanya kurang sempurna. “Ini berarti keputusan yang ditetapkan tidak salah, tapi kurang sempurna karena tidak sesuai dengan kondisi yang ada di lapangan. Sebab ada beberapa desa yang terdampak, tapi tidak mendapat alokasi ganti rugi,” papar Arli Fauzi.

Berdasar kondisi di lapangan inilah, Arly juga akan turut ke Jakarta. “Kami sudah kirim surat untuk diagendakan bertemu dengan DPR RI, Menteri PU sebagai ketua dewan pengarah, dan terakhir direncanakan ketemu dengan Presiden,” terangnya.
Rida Kuswati, Kades Glagaharum yang kemarin mengkuti pertemuan mengatakan dari 20 RT yang ada, hanya 5 RT yang masuk peta terdampak. “Hal ini membuat warga lainnya, di luar 5 RT itu bertanya-tanya. Padahal kondisinya juga terancam, bila sewaktu-waaktu tanggul penahan lumpur itu jebol,” ungkapnya.

Wabup Sauful Ilah yang hadir dalam pertemuan itu, mendukung perjuangan warga korban lumpur. Saiful Ilah yang juga didaulat menjadi salah satu perwakilan warga mengatakan, Pemkab Sidoarjo akan mendukung dalam menyampaikan aspirasi warga korban lumpur. “Pemkab mendukung warga, untuk menyampaikan aspirasi ke pemerintah pusat dan DPR RI,” pungkasnya. iit

04 Maret 2008

ITS Tawarkan Sistem Bernoulli Hentikan Lumpur

ITS Tawarkan Sistem Bernoulli Hentikan Lumpur

Surabaya (ANTARA News) - Tim Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya menawarkan sistem Bernoulli (tekanan atas dan bawah yang seimbang) untuk menghentikan luapan lumpur di kawasan eksplorasi PT Lapindo Brantas di Porong Sidoarjo, Jatim.

"Saya berharap dapat mendampingi Rektor ITS Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD untuk menghadap Presiden RI guna membicarakan solusi teknis menghentikan lumpur dengan sistem Bernoulli," kata koordinator tim ITS Ir Djaja Laksana di Surabaya, Senin.

Ia mengatakan, upaya penghentian dengan menggunakan sistem Bernoulli membutuhkan anggaran Rp12 triliun untuk pembuatan bendungan bertulang, pemasangan pipa berdiameter 50 sentimeter di pusat semburan (untuk mengukur total ketinggian tekanan semburan), dan pengaliran air lumpur dengan memakai star pump (pompa penyedot lumpur khusus).

"Semua biaya untuk menghentikan semburan lumpur itu telah kami hitung secara matang, sehingga tidak akan ada biaya di luar operasional dan pembelian alat. Biaya itu memang jauh lebih besar dibandingkan sistem relief well (pengeboran menyamping), namun tingkat keberhasilannya lebih tinggi," katanya.

Menurut dia, tingkat kerberhasilan sistem Bernoulli lebih tinggi dibandingkan sistem relief well, karena keberhasilan sistem relief well berpeluang "fifty-fifty", sedangkan sistem Bernoulli mencapai 85 persen.

"Besarnya biaya itu akan terlihat lebih kecil dibandingkan dengan dampak dan kerugian yang dialami Jatim selama hampir dua tahun terakhir. Tenggelamnya 28 perusahaan di kawasan Porong dengan jumlah pekerja 2.935 orang, bukan hanya mengakibatkan hilangnya mata pencaharian mereka, tetapi juga merugikan pengusaha dan pemerintah propinsi," katanya.

Jumlah kerugian akibat hilangnya aset perusahaan, katanya, diperkirakan mencapai Rp700 miliar, sedangkan kerugian akibat tidak beroperasinya perusahaan itu diperkirakan sebesar Rp20 triliun/tahun.

"Bukan hanya industri, sektor lain seperti transportasi, usaha kecil menengah, dan pariwisata juga ikut merasakan hal yang sama, karena itu semburan harus segera dihentikan, agar kondisi sektor yang selama ini mati dan terancam akan segera pulih," katanya.

Ia mengaku pemerintah yang berhak menentukan, apakah sistem relief well atau sistem Bernoulli yang dilengkapi sistem pengaliran lumpur (star pump) yang akan dijadikan alternatif untuk menghentikan masalah lumpur itu.

"Semua luapan/semburan, baik yang terjadi karena fenomena alam atau karena kesalahan pengeboran dapat dihentikan dengan teori Bernoulli. Tidak ada semburan yang tidak bisa dihentikan, asalkan penanganannya benar," katanya.(*)

Korban Lumpur dari Besuki Tuntut Jatah Makan

Korban Lumpur dari Besuki Tuntut Jatah Makan

Liputan6.com, Sidorajo: Ratusan pengungsi korban lumpur PT Lapindo Brantas asal Desa Besuki berdemonstrasi di depan Kantor Kecamatan Jabon, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (3/3). Sambil membawa piring dan sendok, mereka menuntut jatah makan bagi para pengungsi tidak dihentikan hingga ada kejelasan realisasi ganti rugi.

Di hadapan para pengunjuk rasa, Camat Jabon, Ali Imron mengingatkan bahwa mereka sudah mendapatkan uang kontrak rumah dan jatah hidup pada 2006. Adapun penghentian jatah makan dilakukan pemerintah setempat sejak dua hari lalu.

Kesulitan warga ini sudah disampaikan kepada Aryo Wijanarko, anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang mengunjungi mereka pada pertengahan Februari silam. Aryo berjanji akan memperjuangkan nasib para pengungsi dengan mengusulkan revisi Peraturan Presiden tentang peta dampak luapan lumpur Lapindo agar mereka bisa mendapat ganti rugi dan kembali mendapat bantuqn makanan [baca: Bantuan Makanan Pengungsi Besuki Dihentikan].(RMA/Eko Yudho)

Semburan Gas di Jatirejo Makin Tinggi

Semburan Gas di Jatirejo Makin Tinggi

Liputan6.com, Sidoarjo: Ketinggian semburan air bercampur gas di bekas bangunan milik Herman Samin di Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sudah mencapai 12 meter, Ahad (2/3). Awalnya, semburan hanya setinggi tiga meter namun lama kelamaan bertambah tinggi.

Petugas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo membersihkan tumpukan batu untuk mengurangi kobaran api yang sempat keluar dari lubang semburan. Selain itu, petugas BPLS juga sudah memasang pipa agar gas yang keluar bisa terurai ke udara.

Berdasarkan catatan SCTV, lokasi semburan gas bercampur air di Jatirejo ini sudah dua kali mengeluarkan api. Kobaran pertama sempat melukai pemilik warung. Sedangkan kobaran kedua, api berhasil dipadamkan menggunakan bahan serbuk kimia [baca: Kobaran Api di Jatirejo Padam].(IAN/Eko Yudho)

Cak Nun: Warga Wajib Mendapat Ganti Rugi

Cak Nun: Warga Wajib Mendapat Ganti Rugi

Liputan6.com, Jakarta: Dua tahun sudah bencana lumpur panas Lapindo Brantas tak kunjung usai. Proses ganti rugi pun hingga kini belum tuntas. Apalagi warga yang belakangan hari desanya terkena dampak lumpur menuntut perubahan peta ganti rugi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007.

Budayawan Emha Ainun Nadjib menilai pemerintah sejatinya memiliki niat dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Pernyataan Cak Nun ini dilontarkan dalam sebuah acara di Masjid At-Tiin, Jakarta Timur, Sabtu (1/3). Menurut Emha, niat baik pemerintah itu diwujudkan dalam alokasi anggaran melalui APBN 2008. Sebab bagaimanapun, seluruh warga yang rumahnya terkena dampak lumpur Lapindo wajib mendapat ganti rugi.

Namun alokasi anggaran lewat Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) Perubahan itu banyak mendapat penolakan dari Komisi Ekonomi DPR. Emha yang pernah jadi mediator di Sidoarjo berharap seluruh pihak duduk bersama untuk mencari solusi terbaik [baca: Lumpur Lapindo, Lalai atau Bencana].

Sementara itu ratusan warga Desa Besuki Timur, Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur berunjuk rasa dengan memblokade badan jalan Tol Gempol. Warga menumpahkan pasir dan batu yang dibawa tiga buah truk untuk keperluan perbaikan tanggul. Mereka menuntut agar pemerintah juga memberikan uang ganti rugi.

Sebelumnya warga Desa Besuki yang letaknya tak jauh dari Desa Besuki Timur sesuai kebijakan pemerintah akan menerima uang ganti rugi. Mereka mengaku dianaktirikan sebab empat rukun tetangga yang ada di barat tol mendapat ganti rugi sementara tujuh RT di sebelah timur tol tak mendapatkan ganti rugi.

Saat ditemui Camat Jabon Ali Imron, warga sempat cekcok. Ali Imron berjanji akan menyampaikan tuntutan warga ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan Bupati. Menurut Ali Imron sejauh ini dana Rp 700 miliar dari APBN belum diketahui secara jelas peruntukannya.(JUM/Tim Liputan 6 SCTV)

Semburan Gas Ditemukan di Bekas Pabrik

Semburan Gas Ditemukan di Bekas Pabrik

Liputan6.com, Sidoarjo: Warga Siring Barat, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (29/2), menemukan semburan-semburan air bercampur gar yang mudah terbakar di empat pabrik yang ada di wilayah tersebut. Semburan ini lebih besar dibanding semburan gas di permukiman warga. Bahkan, semburan air bercampur gas ini juga mengeluarkan lumpur dan pasir.

Informasi adanya semburan air becampur gas ini sebenarnya sudah lama terdengar warga. Namun, pemilik pabrik menolak saat sejumlah wartawan hendak mengambil gambar atau sekadar mengkonfirmasi kebenaran berita itu. Namun, saat didatangi warga pemilik pabrik tidak bisa menolak dan membiarkan warga yang dikawal polisi melihat langsung semburan.

Kedatangan warga ke sejumlah pabrik itu untuk menyakinkan pemerintah jika wilayahnya benar-benar dalam posisi bahaya. Karena, semburan gasnya lebih besar dan mudah terbakar. Warga berharap pemerintah lebih realistis melihat kenyataan sehingga Desa Siring Barat dan Jatirejo dimasukan dalam peta terdampak [baca: Warga Porong Merasa Didiskriminasikan].

Sementara itu, PT Lapindo Brantas mulai sibuk mengkomentari pernyataan pakar geologi yang tergabung dalam Gerakan Menutup Lumpur Lapindo (GMLL). Sebelumnya, para pakar yang dimotori Solahudin Wahid atau Gus Solah dan pakar geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudy Rubiandini, menyatakan, semburan lumpur Lapindo bisa ditutup dengan metode relief weel atau pengeboran miring. Bahkan, tim ini menyatakan sanggup menutup lumpur apabila disediakan dana hingga US$ 80 juta.

Rudy sebelumnya pernah mengupayakan metode ini. Namun, proyek belum tuntas karena dananya sudah habis. Selain itu rik dari Australia dan milik Pertamina yang seharusnya digunakan lebih lama ternyata dibatasi oleh Lapindo. Oleh karena itu GMLL meminta dalam penutupan nanti agar tim tidak memasukan anak perusahaan Bakrie terlibat aktif, selain pendanaan.

Humas PT Lapindo Brantas, Yuniwati Teriayana menyatakan, pihaknya sekarang sedang berkonsentrasi terhadap pembuangan lumpur Lapindo ke Sungai Porong. Ditanya soal tuntutan warga sekitar pusat semburan untuk dimasukan kawasan peta terdampak, PT Lapindo setuju apa yang diputuskan pemerintah [baca: Tuntutan Korban Lapindo Bakal Terwujud].(IAN/Liputan 6 SCTV)

02 Maret 2008

Muncul Semburan Baru Berlumpur Lokasi di Siring Barat

Muncul Semburan Baru Berlumpur Lokasi di Siring Barat

Saturday, 01 March 2008
Sidoarjo - Surya-Kawasan Desa Siring Barat yang tidak masuk dalam kawasan peta terdampak, ternyata berpotensi menjadi pusat semburan baru. Terbukti, dari hasil pendataan yang dilakukan warga setempat, Jumat (29/2), ditemukan adanya semburan bercampur lumpur yang diyakini besarnya hampir sama dengan pusat semburan Lapindo selama ini. Semburan baru bercampur lumpur tersebut, ditemukan warga sebanyak tiga titik, yang semuanya berada di dalam area perusahaan.

Menurut data warga, ada tiga perusahaan di wilayah Siring Barat yang diketahui mengeluarkan semburan air yang berasal dari sumur bor. Bahkan, kata salah satu warga, semburan air yang berada di salah satu pabrik tersebut sudah mengeluarkan lumpur. “Semburan air itu muncul dari sumur bor, saat itu juga keluar gumpalan-gumpalan tanah dari pipa sumur bor itu,” terang Edi, salah satu warga Siring Barat.

Semula semburan itu memang kecil, namun lama kelamaan semburannya semakin membesar dan melebar serta mengeluarkan lumpur. “Ini sepertinya semburan air yang paling besar, yang berada di kawasan pemukiman setelah semburan utama,” ujar warga lainnya.

Pihak perusahaan sudah mencoba mengalirkan air lumpur tersebut, ke saluran yang berada di sekitar pabrik dan membuat bendungan dari karung-karung berisi pasir agar aliran lumpur tidak meluber ke tempat lainnya.

Namun sayangnya, manajemen perusahaan terkesan tertutup dengan alasan dari dampak semburan air itu bisa mempengaruhi terhadap aktifitas bisnis perusahaan tersebut.
Usai melihat semburan air di sejumlah perusahaan, warga juga memperlihatkan sejumlah rumah yang sangat tidak layak dihuni karena mengalami retak dan hampir ambruk akibat subsidence (penurunan tanah). “Kami harus menyangga kuda-kuda rumah ini dengan kayu, kalau tidak sudah ambruk,” terang Ikhwan, warga RT02 RW01, Siring Barat.

Upaya penyelamatan diri warga Siring Barat ini, juga dilakukan dengan membuang gas yang mudah terbakar tersebut ke udara, dengan membuat instalasi pipa di sekitar rumahnya. “Kalau tidak dibuang ke udara, baunya sangat mengganggu dan rawan terbakar,” tambah Bambang.
Bahkan, kata Bambang, ibaratnya kawasan Siring Barat ini seperti neraka. “Bagaimana tidak seperti neraka, wong semua titik dapat mengeluarkan api,” ujarnya.

Sebelumnya pihak PT Fergaco, yang melakukan pengukurann gas di semburan air yang berada didalam pabrik, mendapatkan kandungan LEL (Low Eksplosif Limit) mencapai 72 persen. Tapi karena lokasinya yang berada di tempat terbuka, membuat kandungan gas tersebut dapat segera netral. ”Kalau lumpur yang keluar itu karena gerusan dari semburan air itu mengenai susunan batuan lempung, hingga keluar ke permukaan,” kata petugas Fergaco. iit