04 Februari 2009

Dewan Rekomendasi, Pusat Beri Dana Talangan Korban Lapindo

Dewan Rekomendasi, Pusat Beri Dana Talangan Korban Lapindo

suarasurabaya.net| DPRD Jawa Timur merekomendasikan pemerintah pusat memberikan dana talangan dari APBN untuk membayar ganti rugi korban lumpur Lapindo. Rekomendasi itu ditandatangani FATORROSYID Ketua DPRD Jawa Timur, Selasa (03/02), sesuai tuntutan koalisi 5 elemen korban lumpur Lapindo Sidoarjo.

Kata FATOR pada MARTHA reporter Suara Surabaya, rekomendasi itu diberikan karena sampai sekarang Lapindo belum menuntaskan ganti rugi untuk korban lumpur.

Sementara SUMITRO koordinator perwakilan warga Perumtas, satu diantara elemen koalisi korban lumpur mengatakan Pemerintah pusat diminta menalangi ganti rugi korban lumpur karena Lapindo tidak tepat membayar termin seperti yang dijanjikan.

Kesepakatan angsuran Rp 30 juta per bulan tidak bisa direalisasikan Lapindo. Lapindo juga tidak mampu memenuhi semua skema relokasi plus cash and restlement dan cash and carry.

Menurut SUMITRO, Bupati dan DPRD Sidoarjo sudah mendukung tuntutan korban lumpur yang menuntut dana talangan. SUMITRO berharap selain DPRD Jawa Timur, Gubernur juga akan memberi rekomendasi yang sama. (mar/tin)

1 komentar:

Novik mengatakan...

Model berkelit Lapindo selalu macam ini. Dibiarkan dulu warga korban
menjerit, baru dia melancarkan jurusnya. Lapindo macam bilang, "Mau
apa lagi, kita hanya bisa bertindak begini. Kalau mau monggo, kalau
tidak ya sudah." Pola ini bisa dirunut sejak munculnya Perpres 14/2007
yang sebenarnya membatasi tanggung jawab Lapindo itu, lalu muncul
presentase 20-80, hingga cicilan 30 jutaan itu. Tentu saja warga dalam
posisi tawar lemah, sehingga akan selalu terpaksa menerima yang
disodorkan Lapindo.

Dalam kondisi macam itu, warga juga publik selalu tidak diberi
informasi, sebetulnya kondisi riilnya macam apa dan rencana ke
depannya bagaimana. Lapindo dibilang tidak mampu, tapi tidak pernah
dibuka secara publik: seberapa besar sih sebenarnya aset Lapindo?
Berapa sumur gas Lapindo Brantas yang berproduksi dan menghasilkan
seberapa banyak uang? Dan bukankah Santos juga kasih dana di soal ini,
kemanakah alokasinya? De el el.

Begitu juga di BPLS, warga juga publik tidak pernah diinformasikan:
roadmap BPLS menyelesaikan krisis ini macam apa to sebenarnya? Selalu
saja, tiba-tiba ada wacana, tak lama kemudian muncul keputusan. Tak
ada informasi publik yang jelas. Dan kita tahu, 18 bentuk pelanggaran
hak asasi yang disitir Komnas Ham, yang paling pertama adalah hak atas
informasi.

Di lapangan, dampak dari pelanggaran hak atas informasi ini parah:
Warga tidak pernah tahu, kapan penderitaannya berakhir. Bagi yang 20
persennya saja belum dibayar, tidak diberitahu mengapa tidak segera
diselesaikan, dan kapan akan dibayar. Ketika mereka nyamper ke
Minarak, jawabannya tidak pernah jelas.

Saya usul, sebelum dana talangan atau keputusan apa pun dibuat,
seluruh informasi yang berkaitan dibuka. Mungkin kita tidak bisa
berharap Lapindo maupun BPLS membuka dengan sendirinya. Kita yang
harus menuntut. Kita perlu menggunakan hak kita atas informasi untuk
menuntut minimal kedua lembaga itu untuk membeberkan ke publik,
setidaknya berkaitan dengan 2 hal krusial: berapa banyak sih aset
Lapindo (Bakrie & Brothers?), dan roadmap BPLS untuk menangani kasus
ini macam apa sih. Kita juga bisa menuntut dibukanya informasi soal
record kinerja BPLS dan Lapindo.