14 Agustus 2008

Memintal Harapan di Pemukiman Baru

Memintal Harapan di Pemukiman Baru
Ditulis Oleh Bagong Suyanto - Koordinator Bidang Kemasyarakatan Dewan Pakar Jatim
Selasa, 12 Agustus 2008

Setelah didera rasa was-was dan kecemasan yang berkepanjangan,; kini sebagian warga Porong korban semburan lumpur Sidoarjo boleh bernafas lega. Pada 31 Mei 2008 lalu, Lapindo Brantas, Inc melalui PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) telah menyerahkan secara simbolis kunci rumah kepada warga terdampak yang memilih opsi membeli rumah di kawasan Kahuripan Nirwana Village (KNV).

Saat ini memang baru sekitar 370 unit rumah yang sudah memasuki tahap penyelesaian, tetapi setelah itu akan segera dibangun 7 ribu unit rumah sebagai pengganti bagi warga Porong yang tempat tinggalnya hilang ditimbun lumpur yang entah kapan berhenti menyembur.

Kendati merupakan kompleks permukiman baru, tidak mustahil kawasan KNV ini akan segera dipenuhi warga pindahan baru korban semburan lumpur. Terletak di Kecamatan Kota Sidoarjo, dan tidak jauh dari pintu tol, kompleks KNV harus diakui merupakan kawasan yang strategis. Dengan land mark yang tergolong megah, akses jalan masuk yang asri dan kondisi lingkungan yang tertata, KNV tak pelak merupakan tawaran yang menguntungkan dan menjanjikan.

Bisa dibayangkan, hati siapa yang tak terpikat jika selama dua tahun hidup tanpa kepastian, dan bahkan harus rela hidup berjubel di tempat penampungan, kini di hadapan mereka terbentang kompleks perumahan yang rapi, asri dan ditata dengan gaya yang modern? Terlepas dari soal hukum, solusi kemanusiaan yang ditawarkan dalam bentuk resettlement ini niscaya merupakan pilihan yang sulit dinafikan begitu saja.

Dibangun di atas lahan seluas 1.200 hektar, KNV dipersiapkan bukan saja mampu menampung ribuan keluarga korban lumpur untuk kembali merajut kehidupan dan masa depan yang baru, tetapi juga membangun kebersamaan yang sempat terkoyak karena perbedaap kepentingan dan pilihan solusi.

Di atas kertas, keuntungan para korban lumpur memilih opsi resettlement adalah mereka dapat tinggal bersama lagi dalam satu lokasi, dan tidak lagi tercerai-berai ke berbagai tempat yang mungkin saja terasa asing. Perlu disadari, yang disebut resettlement memang bukan sekadar memindahkan orang dari lokasi satu ke lokasi yang lain. Rumah bagi penduduk bukan sekadar tempat tidur sanak-keluarga agar terlindung dari panas dan hujan, tetapi yang disebut permukiman sesungguhnya adalah tempat bagi persemaian proses sosialisasi dan ruang untuk memintal kohesi sosial dengan sesama.

Di permukiman mereka yang lama, sebelum semburan lumpur itu memporak-porandakan kehidupan warga Porong, proses interaksi dan rasa kebersamaan yang tumbuh sedikit-banyak terjadi secara alamiah, berseiring dengan makin berkembangnya permukiman warga. Tetapi, di lokasi yang baru seperti KNV, terlebih di tahap yang awal, bukan tidak mungkin proses adaptasi dan interaksi yang berkembang cenderung gagap, mungkin terkesan instant dan bahkan berbeda dengan kehidupan mereka sebelumnya.

Hidup di wilayah kompleks perumahan yang, tertata, sedikit-banyak memang berbeda dengan hidup dalam suasana perkampungan yang khas. Di kampung, biasanya warga hidup dan berkembang dengan identitas sosial dan penampilan rumah yang sesuai dengan karakteristik dan selera sosial mereka. Tetapi, di kompleks perumahan seperti KNV sudah barang tentu kekhasan itu akan tertutupi, minimal untuk sementara waktu oleh bentuk rumah, warna cat dan kondisi lingkungan yang serba seragam. Norma dan kebiasaan hidup di kampung dan di kompleks perumahan, harus diakui dalam beberapa hal agak berbeda. Pertanyaannya kemudian: seberapa siapkan penduduk korban lumpur itu merespon perubahan baru yang terjadi dengan sikap yang positif dan adaptif?

Gairah dan kegembiraan menyambut pemilikan rumah baru adalah hal yang lumrah dan manusiawi. Bagi orang yang sempat kehilangan harapan, kembali memiliki rumah sendiri yang layak ibaratnya adalah seperti kejatuhan bintang. Tetapi, untuk menghindari agar pemilikan dan tinggal di rumah yang baru tidak kontra-produktif, ke depan tugas penting yang menanti adalah bagaimana mengisi dan mengembangkan kembali potensi dan mata pencaharian yang dapat menjadi tempat bergantung hidup.

Bagi keluarga korban lumpur yang bekerja sebagai karyawan swasta, PNS atau mereka yang bergaji bulanan, tinggal di kompleks perumahan baru dan memfungsikan rumah sekadar sebagai tempat tidur dan beristirahat, barangkali mereka dengan cepat akan mampu beradaptasi. Tetapi, bagi keluarga yang dulunya menggantungkan hidup dari usaha mikro, kecil dan menengah serta menjadikan rumah sebagai tempat tidur sekaligus tempat berusaha, tentu perjuangan yang harus dilakukan akan lebih berat.

Tidak ada komentar: