06 Agustus 2008

Lumpur Sidoarjo dan Corporate Sosial Responsibility

Lumpur Sidoarjo dan Corporate Sosial Responsibility (CSR)
Ditulis Oleh Soebagyo - Dosen Fakultas Ekonomi Unair / ty
Senin, 04 Agustus 2008

Semburan lumpur Sidoarjo sudah berlangsung hampir dua tahun dan sampai saat ini belum ada tanda – tanda akan berhenti. Tiada juga diketahui penyebabnya, apakah karena kesalahan dalam prosedur pengeboran gas di sumur Banjar Panji Satu (BP-1) yang mengabaikan persyaratan teknis keamanan pengeboran oleh Lapindo Brantas, Inc. atau karena sebab lain yang terprovokasi pengeboran sumur Banjar Panji Satu, ataukah memang murni merupakan gejala alam. Upaya penghentian dengan pengeboran miring memang pernah dilakukan, tetapi tidak tuntas. Demikian pula halnya dengan upaya memasukkan bola – bola beton ke dalam pusat semburan. Jadilah lumpur itu masih terus menyembur dan bahkan menunjukkan gejala dampak geologi yang semakin menakutkan.

Selain semburan lumpur atau air dengan intensitas yang jauh lebih kecil, muncul pula semburan gas yang amat mudah terbakar. Dampak semburan lumpur Sdoarjo tidak lagi hanya mengubur ribuan rumah penduduk, ratusan hektar sawah produktif warga masyarakat sekitar serta berbagai fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah, pekuburan dan komplek industri, tetapi ledakan pipa gas yang telah memakan korban sepuluh jiwa, dan menyebabkan beberapa orang harus dirawat di rumah sakit karena sesak nafas karena keracunan gas.
Ini bukan bencana yang ringan dan mudah penanganannya. Bencana ini telah pula menyebabkan pelumpuhan infrastruktur ekonomi tepat di jalur strategis yang merupakan urat nadi perekonomian Jawa Timur. Pasti sudah triliunan rupiah nilai opportunity loss perekonomian Jawa Timur. Kalau dikonversikan ke dalam sistem distribusi pendapatan, pasti sudah amat besar income losses yang ditanggung oleh industri dan masyarakat di Jawa Timur, bukan hanya oleh masyarakat yang terkena dampak langsung semburan lumpur.
Lapindo yang ‘dituduh’ menjadi biang segala malapetaka ini, memang telah menunjukkan ‘itikad baiknya’ dengan selalu kooperatif terhadap semua skema penanganan bencana yang ditetapkan pemerintah. Demikian pula pemerintah telah membentuk sebuah badan yaitu Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) sebagai institusi yang ditugasi menangani bencana serta dampaknya bagi penduduk setempat. Skema ganti untung telah di sepakati, dan penduduk setempat yang terkena dampak langsung luberan lumpur telah pula menerima 20% dari nilai ganti untung dan masih menunggu sisa pelunasan 80%. Namun kepada mereka juga telah diberikan bantuan biaya kontrak rumah selama dua tahun. Kepada mereka juga diberikan penampungan, walaupun sangat darurat, termasuk kebutuhan makan secara gratis selama dalam penampungan.
Tentu saja semuanya ini secara psikologis dirasakan masih jauh dari rasa keadilan bagi penduduk terkena dampak luberan, mengingat mereka adalah bagian dari penduduk yang sudah turun – temurun berdomisili di lokasi luberan. Sehingga ketercabutan secara paksa dari tanah leluhurnya sesungguhnya merupakan keterpaksaan yang tidak dapat diganti-untungi berapapun nilainya.

Corporate Social Responsibility?
Apapun namanya, memenuhi persyaratan untuk disebut Corparate Social Responsibility (CSR) atau tidak, itikad untuk membantu korban luberan lumpur telah dikedepankan oleh Lapindo Brantas melalui PT Minarak Lapindo Jaya. Cukup atau tidak, tentu saja tidak, mengingat nilai psikologis yang menjadi beban oleh penduduk terkena luberan jauh lebih tinggi dibanding dengan uang ganti untung yang diskemakan oleh pemerintah, dan dibebankan kepada PT Minarak Lapindo Jaya. Persoalannya adalah sampai batas mana ganti untung itu akan diberikan dalam frame – work (kerangka) CSR Lapindo Brantas, karena luberannya berjalan terus dan semakin luas. Apakah skema ganti untung tersebut dapat digolongkan sebagai CSR sebagaimana didefinisikan dalam text-book manajemen bisnis, charity atau bahkan sodaqoh.
Demikian pula bagaimana halnya dengan opportunity losses yang diderita oleh pelaku industri dan secara tidak langsung juga menjadi beban perekonomian dan sebagian masyarakat Jawa Timur yang tidak terkena dampak langsung luberan lumpur. Siapa yang bertanggungjawab untuk mengganti-untungi? Berapa nilainya? Kalau kepada mereka diberikan ganti untung apakah hal ini juga bisa digolongkan dalam skema CSR? Oleh siapa?
Apalagi kalau pertanyakan apakah sudah direncanakan upaya untuk menyumbat luberan, bagaimana tekniknya dan berapa biayanya dan siapa yang akan membiayainya? Apakah indikasi amblesan atau subsidance dan semburan gas yang akhir – akhir ini semakin sering terjadi merupakan tanda – tanda awal akan terjadinya amblesan dengan areal yang lebih luas dan lebih dalam? Berapa jiwa lagi yang akan ‘dikorbankan’ dan apakah hal ini dianggap tidak mengerikan? Sejauh ini para pemangku kepentingan atau stakeholder belum ada yang menjawabnya.
Bencana lumpur Sidoarjo ternyata memang bukan bencana sederhana, dari sisi penyebabnya, dampaknya, penanggulangannya dan penanggung-jawabnya serta kapan berhentinya, semuanya belum ada yang jelas. Bencana ini bukan bencana sekali jalan, tetapi ibarat taxi, argometernya berjalan terus sementara pengemudi dan penumpangnya tertidur di dalamnya, taxinya berjalan menabrak orang di sepanjang jalan yang dilewatinya tanpa kendali.

Tidak ada komentar: