08 November 2008

Koran Tempo - Jangan Hambat Kasus Lapindo

Koran Tempo - Jangan Hambat Kasus Lapindo
Jumat, 31 Oktober 2008 12:23 Koran Tempo
E-mail Cetak PDF

editorial koran Tempo (31/10)

Bukan tanpa alasan jika khalayak menilai pemerintah tak serius menangani kasus lumpur Lapindo. Sudah dua tahun lebih kasus semburan lumpur di Sidoarjo ini diusut oleh penegak hukum, tapi hingga kini belum tuntas. Padahal masalah ini amat penting lantaran menyangkut hajat hidup orang banyak, dan negara pun terpaksa ikut menanggung akibatnya.

Sikap penegak hukum di Jawa Timur amat janggal. Walau berkas kasus itu telah berkali-kali diperbaiki polisi, tetap saja dikembalikan lagi oleh jaksa. Berkas tersebut memuat hasil pemeriksaan 13 tersangka, termasuk petinggi PT Lapindo Brantas, perusahaan yang bertanggung jawab atas pengeboran yang memicu malapetaka bagi ribuan warga Sidoarjo. Mereka belum dibawa ke meja hijau lantaran jaksa selalu menilai hasil pemeriksaan belum lengkap.



Polisi kukuh menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan oleh kelalaian dalam pengeboran. Pernyataan ini pernah disampaikan ke DPR oleh Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang kini menjabat Kepala Kepolisian RI. Tapi, menurut Bambang, jaksa meminta tambahan saksi ahli yang menyatakan semburan itu sebagai bencana alam.

Itulah yang membuat berkas kasus lumpur Lapindo terombang-ambing. Polisi dan jaksa memiliki pandangan berbeda. Masalahnya, kompromi bukan pilihan terbaik karena hasilnya justru akan mengendurkan jerat hukum yang telah dipasang polisi.

Kengototan jaksa sungguh aneh karena para ahli geologi dunia pun cenderung menyatakan semburan lumpur dipicu oleh pengeboran. Inilah pandangan yang dominan dalam konferensi American Association of Petroleum Geologists di Cape Town, Afrika Selatan, baru-baru ini. Hanya sedikit ahli yang sepakat bahwa semburan itu merupakan dampak gempa di Yogyakarta.

Pengeboran yang dilakukan Lapindo berbahaya karena tidak menggunakan casing secara penuh. Badan Pemeriksa Keuangan, yang pernah mengaudit kasus ini, juga mendapat keterangan penting dari Dinas Survei dan Pengeboran BP Migas. Intinya, proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki, sehari sebelum semburan terjadi pada 29 Mei 2006, menyebabkan "well kick" terlambat diantisipasi. Peralatan pengeboran pun sering rusak. Menurut auditor BPK, kontraktor yang ditunjuk Lapindo diduga menggunakan beberapa peralatan bekas atau tidak memenuhi standar kualitas.

Jaksa mestinya berpegang pada fakta seperti itu. Mengarahkan kasus lumpur Lapindo ke perdebatan apakah semburan itu berkaitan dengan gempa atau tidak hanya akan mengaburkan persoalan. Sepanjang ditemukan bukti yang cukup adanya kelalaian dalam pengeboran, kasus ini layak dibawa ke pengadilan.

Persoalan ini tak akan berlarut-larut andaikata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera turun tangan. Perbedaan pendapat antara jaksa dan polisi seharusnya bisa diatasi karena kedua institusi ini di bawah kendali langsung Presiden. Jangan sampai khalayak menilai pemerintah sengaja membiarkan kasus ini menjadi terkesan rumit, sehingga akhirnya tak jelas siapa yang mesti bertanggung jawab atas penderitaan warga Sidoarjo.

Tidak ada komentar: