19 Desember 2008

TP2LS Nilai Pemerintah Kurang Tanggap Persoalan Warga Terdampak Lumpur

TP2LS Nilai Pemerintah Kurang Tanggap Persoalan Warga Terdampak Lumpur
Ditulis Oleh (*)
Kamis, 18 Desember 2008

RAPAT dengar pendapat antara Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS), Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Lapindo Brantas, Inc/Minarak Lapindo Jaya berlangsung panas. Pasalnya, rapat yang berakhir hingga Kamis (18/12) dini hari itu, TP2LS menilai pemerintah kurang tanggap terhadap kondisi para korban terdampak. Padahal dalam struktur dewan pengarah BPLS terdapat beberapa menteri terkait dimaksudkan agar tanggap terhadap kondisi warga terdampak.

Ketua TP2LS Priyo Budi Santoso melampiaskan kekesalannya pada Menteri PU Djoko Kirmanto dan Menneg LH Rachmat Witoelar yang hadir dalam kapasitas sebagai dewan pengarah BPLS. Sebab dewan pengarah dinilai kurang serius menanggulangi penderitaan rakyat akibat semburan lumpur Sidoarjo.

Anggota TP2LS Alvin Lie tidak kalah sengit. Menurut Alvin Lie, pada saat perusahaan keluarga Bakrie mengalami kesulitan uang akibat dampak krisis finansial global, mestinya pemerintah mengambil alih tanggung jawab untuk menyelamatkan rakyatnya. ”Seharusnya pemerintah cepat tanggap. Jangan membebankan tanggung jawab itu semata-mata kepada Lapindo yang sedang mengalami krisis finansial global. Terlepas pemerintah menagih Lapindo di kemudian hari, itu urusan lain. Yang penting saat ini, negara segera menyelamatkan rakyatnya,” kata Alvin Lie.

Ia menambahkan, sesuai UU Penanggulangan Bencana, tanggung jawab penyelamatan warga adalah pemerintah. Karena itu, para menteri yang masuk dalam dewan pengarah BPLS harus action menolong rakyat. Alvin juga membandingkan peranan pemerintah yang begitu cepat saat menyelamatkan Bank Century.

”Rakyat yang sudah menderita jangan ditambah lagi bebannya. Pemerintah begitu cepat menyelamatkan Bank Century dengan dana yang sangat besar, padahal berapa sih yang jadi korban Bank Century. Yang punya saham berapa? Untuk kasus Bank Century, pemerintah bisa sediakan uang, menteri-menterinya langsung action menolong. Tapi kalau urusan dengan warga terdampak lumpur, kok nggak kelihatan perannya. Ini kan nggak adil,” tandasnya.

Anggota TP2LS lainnya, Marcus Silano, juga angkat bicara. Menurutnya, para menteri itu tugasnya membantu presiden untuk menyelesaikan masalah. Tetapi untuk kasus lumpur, para menteri terkesan diam. ”Kok Anda diam saja? Lihat rakyat jadi korban begini, mestinya para menteri segera action,’’ kata Marcus.

Anggota TP2LS dari Fraksi PDI-P, Effendi Simbolon justru menaruh iba kepada Lapindo Brantas, Inc yang sudah mengucurkan dana lebih dari Rp 4 triliun untuk mengatasi warga terdampak lumpur Sidoarjo. Padahal hingga saat ini belum ada suatu keputusan hukum tetap yang menyatakan Lapindo bersalah.

”Kalau dulu mungkin saja nggak terasa karena memiliki banyak uang. Tapi saat ini, kondisinya sedang terpuruk. Jadi bagaimana, apa cetak uang palsu? Kita harus jelaskan kepada rakyat kondisi yang sebenarnya. Tapi saya minta pemerintah konsisten,” ujar Effendi Simbolon.

Setya Novanto anggota Timwas TP2LS DPR RI menyampaikan bahwa dalam kondisi yang sulit seperti ini, Lapindo masih harus menyediakan dana untuk membeli tanah warga sebesar Rp 200 miliar per bulan. Timwas TP2LS DPR RI juga mendesak pemerintah agar segera merealisasikan pembangunan jalan tol, sehingga permasalahan ekonomi menjadi lancar dan tidak menimbulkan gejolak sosial ekonomi yang berkepanjangan. Sedangkan soal pembebasan lahan untuk pembangunan jalan tol yang masih terkendala, Timwas merekomendasikan menggunakan mekanisme hukum pembebasan lahan untuk kepentingan publik.

Sementara itu, menjawab kritikan anggota DPR, Menteri PU Djoko Kirmanto menyatakan bahwa pihaknya ditunjuk sebagai dewan Pengarah BPLS berdasarkan Keppres. Tugas BPLS adalah membuang lumpur ke laut, membangun dan memperbaiki infrastruktur jalan arteri dan jalan tol pengannti jalan tol Porong-Gempol yang kini tidak dapat difungsikan lagi.

”Itu adalah tugas-tugas kami sesuai Keppres 14/2007. Saya tak mau kalau dikatakan sebagai menteri yang tak membantu presiden. Saya sudah berbuat, tapi kalau dikatakan demikian ya nggak apa-apa,” tegas Djoko Kirmanto.



Hampir Rp 5 T

Dalam rapat dengar pendapar tersebut juga terungkap bahwa hingga Oktober 2008 lalu, Lapindo Brantas telah mengeluarkan anggaran mencapai Rp 4,855 triliun. Menurut General Manager Lapindo Brantas, Inc., Imam P Agustino, biaya tersebut untuk upaya penanggulangan semburan lumpur, penanganan lumpur permukaan dan penanganan sosial.

Khusus penanganan masalah sosial, hingga 12 Desember 2008 Lapindo Brantas telah merealisasikan pembayaran/pembelian tanah warga, dengan rincian pembayaran 20 persen telah selesai semuanya, yakni sebanyak 12.865 berkas dengan nilai Rp 718,28 miliar. Sedangkan pembayaran 80 persen telah dilakukan pada 2.356 berkas dengan nilai Rp 419,404 miliar.

Imam Agustino menambahkan, sesuai dengan Perpres 14/2007 khususnya pasal 15 ayat 1 menyebutkan bahwa Lapindo Brantas membeli tanah & bangunan warga korban terdampak lumpur dengan pembayaran secara bertahap melalui akta jual beli (AJB) dengan menyertakan bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah yang disahkan oleh pemerintah.

Dengan dasar tersebut, Lapindo Brantas melaksanakan transaksi Akta Jual beli untuk berkas yang bisa ditransaksikan sebanyak 8.157 berkas, dengan rincian warga yg melakukan pembelian rumah di KNV sebanyak 2.303 berkas. Sedangkan 5.813 berkas menyetujui dengan mekanisme cash bertahap yang ditandatangani melalui kesepakatan 3 Desember 2008, dengan ketentuan diangsur Rp 30 juta/bulan/berkas , ditambah bantuan uang kontrak sebesar Rp. 2,5 juta/KK.

Di sisi lain, berkas warga yang tidak dapat dilakukan AJB sebanyak 4.729 berkas. Untuk berkas ini, Lapindo Brantas/PT Minarak Lapindo Jaya telah melakukan kesepakatan mekanisne cash & resettlement dengan warga pada 25 Juni 2008.

”Kami juga mengacu pada rekomendasi rapat paripurna DPR RI pada 19 Februari 2008. Dimana Lapindo menyiapkan pemukiman kembali/resettlement di kawasan Kahuripan Nirwana Village (KNV) berikut fasilitas sosial dan fasilitas umum untuk warga tersebut,” kata Imam Agustino.

Hingga saat ini, kelompok warga yang telah menyatakan keinginannya untuk mengambil skema cash & resettlement dengan melakukan penandatanganan perjanjian sebanyak 1.835 berkas. Di samping itu, sebanyak 2.832 berkas lainnya juga menyatakan berminat mengikuti skema tersebut, meski belum melakukan penandatanganan. (*)

Tidak ada komentar: