30 Juni 2008

Ada Indikasi Penyimpangan Setoran Rp 194 Triliun

Ada Indikasi Penyimpangan Setoran Rp 194 Triliun

JAKARTA - Upaya membongkar dugaan korupsi pada setoran negara di sektor minyak dan gas (migas) terhambat. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan Haryono Umar mengungkapkan, KPK sedang menghimpun data sebelum mulai memanggil pihak Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).

Menurut Haryono, tidak mudah menghimpun informasi terkait migas. ''Mereka itu (KKKS, Red) eksklusif sekali. Permasalahan sudah kami lihat, tinggal meminta keterangan," ujarnya kepada Jawa Pos kemarin.

Selain penjelasan soal jumlah migas yang diproduksi (lifting), lanjut Haryono, KPK akan menyinggung pengawasan BP Migas terhadap kegiatan pengeboran minyak yang menurut informasi hanya dilakukan satu konsultan swasta.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencium praktik transfer pricing dalam cost recovery Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) migas yang akan membuat cost recovery membengkak. Dalam praktik net operating income bagian pemerintah adalah sebesar 71,1 persen dan kontraktor 28,8 persen. Setelah dikurangi pajak yang ditanggung KKKS, total penerimaan negara adalah 85 persen, sementara KKKS 15 persen.

Itu berdasarkan hitungan kasar. Faktanya, pemerintah masih menanggung cost recovery eksplorasi minyak yang dikeluarkan KKKS. Semakin besar cost recovery makin berkurang pendapatan pemerintah. Sebaliknya, makin efisien makin besar penerimaan yang didapat. Besar kecilnya cost recovery bergantung pada sistem pengawasan dan pengendalian yang dilakukan pemerintah, dalam hal ini BP Migas.

Pada bagian lain, BP Migas hari ini (30/6) akan dilaporkan Indonesia Corruption Watch (ICW) ke KPK.

Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas mengungkapkan, berdasarkan penelitian dan perhitungan, pihaknya menemukan fakta selama 2000 sampai 2007 ditemukan indikasi penyimpangan penerimaan negara dari minyak Rp 194 triliun. "Itu baru minyak, belum gasnya," ujarnya kepada koran ini kemarin (29/6).

Dia menambahkan, dugaan penyimpangan tersebut dihasilkan dengan metode, tata cara, dan angka-angka resmi, baik dari Departemen Keuangan, Kementerian ESDM, maupun dari BP Migas sendiri.

"Angka tersebut masih moderat. Nilainya masih bisa bertambah," ujarnya. Dia menambahkan, nilai Rp 194 triliun merupakan selisih kurang antara besaran penerimaan migas yang dilaporkan dan realitas yang ada. Firdaus mengungkapkan, selama delapan tahun keberadaan sekitar 160 juta barel minyak Indonesia tak jelas.

Tidak transparannya BP Migas dituding sebagai penyebab tidak optimalnya penerimaan negara dari sektor migas. Salah satunya KKKS yang justru cenderung merugikan negara. Cost recovery migas yang harus dibayarkan negara makin lama makin tinggi. Itu bukti tidak efisiennya sektor hulu. "Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya pengawasan dan kontrol BP Migas terhadap kegiatan usaha para kontraktor migas," tambahnya.

KPK, ujarnya, diharapkan bisa mengurai benang kusut sektor migas sekaligus melakukan penindakan jika ditemukan dugaan indikasi korupsi. Mengapa BP Migas? Pasalnya, menurut UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Migas, yang berkewajiban mengawasi pengelolaan migas adalah lembaga tersebut.

Sorotan terhadap kinerja BP Migas adalah buntut kenaikan harga BBM. Indonesia yang notabene penghasil migas justru terpuruk dengan kenaikan harga minyak dunia.

BP Migas Siap Beri Keterangan

Desakan transparansi di sektor migas langsung direspons BP Migas. Kepala BP Migas R. Priyono mengatakan, pihaknya siap memberikan penjelasan kepada semua pihak termasuk KPK. ''Kami belum tahu detail pertanyaannya, tapi pasti nanti kami jelaskan,'' ujarnya.

Menurut Priyono, industri migas memang memiliki karakter berbeda dengan sektor industri lain. Karena itu, perbedaan-perbedaan persepsi bisa memancing timbulnya ketidakjelasan, termasuk dalam hal mekanisme pengawasan dan kuangan.(ein/owi/agm)

Tidak ada komentar: