19 Maret 2008

Teliti Sebelum Membeli Rumah

Teliti Sebelum Membeli Rumah

DALAM sepuluh tahun terakhir muncul banyak kasus penipuan oleh segelintir pemain properti terhadap konsumen. Umumnya terjadi di DKI Jakarta dan sekitarnya. Praktik penipuan ini tidak banyak diadukan ke polisi karena konsumen umumnya memilih menyelesaikan sendiri masalahnya.

Menilik kasus-kasus yang muncul, umumnya dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama, penipuan. Kedua, mutu bangunan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Ketiga, lahan tempat rumah atau apartemen itu dibangun bermasalah. Keempat, lingkungan sangat buruk, tandus, tidak ada pepohonan, tak ada air bersih, banyak penyamun, dan berisik.
Kasus pertama, penipuan. Ini terjadi karena pengembangnya nakal.

Pengembang merilis brosur cakep lalu menunjukkan areal luas yang akan digunakan. Untuk meyakinkan pembeli, pengembang busuk ini membangun kantor proyek yang dingin dan wangi juga rumah contoh yang keren. Rumah contoh diisi dengan perabot mahal sehingga perumahan itu terkesan berkelas. Padahal, perabot-perabot itu umumnya pinjaman dari perusahaan furnitur. Perabot itu akan ditarik kembali jika sudah tiba masanya.

Pembeli awam dan beritikad baik biasanya langsung tertarik dan kemudian membeli. Pembeli ini lalu menuturkan kepada teman-temannya bahwa ia membeli properti bagus di lokasi kelas atas. Kawan-kawannya pun tertarik dan ikut membeli.

Tiga bulan kemudian, tidak tampak aktivitas apa-apa di lokasi proyek. Enam bulan juga demikian. Pemimpin proyek dihubungi, tetapi selalu menyatakan proyek segera dikerjakan. Dan untuk meyakinkan pembeli,alat-alat berat didatangkan. Truk tanah berdatangan untuk mengangkut tanah galian. Ada pula crane yang tampak sibuk. Pembeli
bisa disabarkan.

Akan tetapi, ternyata, setahun, dua tahun, bahkan tiga tahun kemudian rumah dan apartemen yang dijanjikan tidak dibangun. Ketika pembeli sadar bahwa mereka ditipu, pengembang itu sudah kabur. Para pembeli gigit jari dan berusaha mengejar pengembangnya. Namun, tidak jelas perburuan itu sampai kapan dapat dituntaskan.
Kasus kedua, mutu bangunan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Kasus seperti ini paling sering terjadi, umumnya berkaitan dengan kualitas. Misalnya, kusen untuk pintu dan jendela, baru dua bulan dipakai sudah rontok karena dimakan rayap.

Menyedihkan sebab rumah baru ditempati dua bulan kusen sudah hancur digerogoti rayap. Ini bisa terjadi karena kualitas kayu amat buruk (dibeli dengan harga murah agar pengembang untung besar) atau karena kontraktor bangunan tak melakukan perawatan awal atas kusen. Mestinya kontraktor mengoles beberapa bahan antirayap agar usia kusen lebih lama.

Pintu dan jendela pun demikian, biasanya dari kayu murah. Seorang pembaca pernah menelepon Redaksi Kompas dan menuturkan begini. Ia membeli rumah di perumahan menengah ke atas. Hal yang mengejutkan, pintu dan jendelanya berderit kalau dibuka. Dua bulan kemudian, pintu dan jendela sulit dibuka. Ketika pembaca ini membuka dengan melakukan tarikan keras, kayu pintu dan jendela malah ambrol.

Selain kusen, pintu dan jendela, banyak materi lain yang tidak sesuai spek, tak sesuai dengan yang ada dalam rincian bahan di brosur dan penyampaian lisan. Lantai rumah yang mestinya kualitas nomor satu diganti menjadi kualitas nomor dua. Kamar mandi kloset duduk diganti menjadi kloset jongkok. Tangga yang mestinya dari kayu jati diganti
menjadi kayu samarinda. Ini memang hal-hal yang menjengkelkan.

Kasus ketiga, lahan tempat rumah atau apartemen berdiri juga kerap bermasalah. Tiba-tiba datang orang yang mengaku sebagai pemilik sejati lahan yang ditempati warga. Ini bisa saja terjadi karena persoalan tanah di negeri ini cukup rumit.

Pada sisi lain kerap terjadi, pengembang memperoleh tanah itu tidak dengan jalan lurus sehingga sesekali terjadi gugatan atas kepemilikan tanah itu. Bisa jadi pembeli rumah/apartemen yang beritikad baik tak menemui masalah apa-apa, tetapi masalah lainnya kerap menerbitkan rasa tidak nyaman.

Kasus keempat, lingkungan buruk karena pengembang tidak mempunyai visi tentang lingkungan. Yang ada di benak para pengembang jenis ini hanyalah urusan keuntungan dan keuntungan. Ini membuat mereka tak ramah terhadap lingkungan. Mereka enggan membangun drainase, danau buatan untuk penampungan air, taman, sumur resapan, dan kawasan hutan perumahan.

Manakala pengembang tidak mau rugi karena menjual rumah murah meriah (untung tipis), mestinya pengembang membuat pusat penampungan air bersih. Membangun sumur resapan agar air tanah yang bersih
senantiasa terisi.

Hikmah
Hikmah apa yang bisa dipetik dari pelbagai kasus ini? Pengembang harus lebih jujur, beritikad baik, dan profesional. Pengembang yang mengabaikan tiga aspek ini tak pernah berumur panjang. Pada saatnya publik tahu dan pengembang tersebut akan ditinggalkan konsumen. Pengembang itu mendapat label hitam dan proyek apa pun yang akan dibangun kelak tidak akan dipercaya konsumen.

Bagi para pembeli rumah dan apartemen hendaknya memerhatikan beberapa hal penting sebagai berikut.
1. Pastikan status tanah proyek perumahan, rumah bandar atau apartemen, bersih dari semua kasus tanah.
2. Jangan mudah tergoda brosur, rumah contoh, dan rayuan gombal tim pemasaran rumah. Pembeli mesti yakin pengembang itu bonafide atau tidak, punya banyak utang, dan kasus pidana atau tidak. Kalau pengembangnya bermasalah, sebaiknya pembeli mencari jalan aman, yaitu carilah pengembang bereputasi tinggi.
3. Ketika membeli rumah bersikaplah kritis dan teliti. Tanyakan segala hal yang Anda ingin tahu. Sepanjang pertanyaan Anda rasional, tidak perlu sungkan bertanya. Tanya spek bangunan, lantainya dibuat dari apa, pintudan kusen pakai kayu apa, dapur dan kamar mandi seperti apa, dan seterusnya. Lebih baik bertanya sekarang daripada
menyesal kemudian. Ada juga baiknya kalau Anda membuat perjanjian dengan pengembang bahwa mereka akan menggunakan bahan-bahan bangunan berkualitas amat baik (dengan rincian). Jika Anda dirugikan karena pengembang wanprestasi, mintalah ganti rugi.
4. Kalau bangunan sudah jadi, cek bangunan itu, apakah sudah sesuai dengan komitmen pengembang. "Kejar" pengembang untuk mengganti materi yang rusak, atap atau kamar mandi yang bocor. Atau rumah sama sekali tidak mempunyai air.
5. Jika membeli rumah dengan tunai, pastikan bahwa Anda mendapat diskon sangat menyenangkan. Ada pengembang yang berani memberi diskon 10 persen. Pengembang yang sedang promosi atau ingin proyeknya cepat selesai biasanya berani memberi diskon hingga 15 persen.
6. Kalau membayar dengan cicilan, hendaknya berbicara dengan jelas dan rinci dengan pihak pengembang. Berapa uang mukanya (biasanya 30 persen), kapan harus dilunasi, bisa berapa kali dicicil, dan berapa persen untuk KPR.
7. Teliti baik-baik rumah yang Anda beli, apakah terletak di lokasi strategis atau terpencil. Bagaimana aksesnya, lalu lintasnya macet atau tidak? Tidak bijaksana kalau Anda berpikir "tidak apalah rumahnya jauh dari kantor atau jauh sekali dari sekolah anak-anak. Toh ada jalan tol".
8. Pilihlah perumahan yang menjadikan lingkungan sebagai isu utama. Sangat bagus kalau Anda memilih perumahan yang terletak di kawasan berudara segar karena banyak pohon dan mempunyai air cukup. Hidup Anda jadi lebih sehat.

3 komentar:

abdudu mengatakan...

Kompas, Sabtu, 29 September 2007

Penipuan ala Sentul City

Pada tahun 2006 PT Bukit Sentul telah berubah menjadi Sentul City yang berlokasi di Bogor, Jawa Barat. Perubahan tersebut disebabkan PT Bukit Sentul tidak menepati janji untuk siap membangun sesuai dengan perjanjian jual beli (PPJB) karena ada permasalahan manajemen pada PT Bukit Sentul. Oleh karena itu ada konsumen yang mengklaim PT Bukit Sentul untuk pailit. Kemudian ada keputusan dari pengadilan negeri bahwa PT Sentul City harus segera membangun.
Rumah toko (ruko) yang tidak jadi dibangun akan direlokasikan, tetapi ternyata prosedur relokasi tersebut berbelit-belit. Sentul City lebih mengutamakan kavling / rumah untuk dijual supaya mendapatkan uang tunai daripada relokasi.
Ruko Emporium Plaza yang telah saya bayar lunas pada tahun 2001 tidak jadi dibangun dan saya dipanggil untuk relokasi.
Namun setelah datang beberapa kali dalam rangka relokasi, ternyata saya dikecewakan dengan prosedur Sentul City yang amburadul. Bagian pelaksana relokasi Sentul City saja pusing dengan prosedur, bagaimana dengan konsumen pasti jauh lebih pusing dan tidak mengerti. Tolong benahi manajemen Sentul City yang amburadul dan jangan merugikan rakyat kecil. Sepertinya hal itu merupakan penipuan ala Sentul City.

N TAHER

abdudu mengatakan...

DIRUGIKAN PENGEMBANG NAKAL

Betapa nikmat pengembang nakal seperti Sentul City (sebelumnnya Bukit Sentul) yang berlokasi di Bogor berbisnis di Indonesia. Dengan daftar panjang dosa-dosanya di masa lalu, yaitu lalai membangun properti yang telah lunas dibayar, MENGINTIMIDASI dan MENGAKALI konsumen dalam masa kepailitan. Kini setelah akhirnya lolos dari kepailitan dan "berjasa" membangun unit-unit rumah yang dibayar lunas oleh konsumen antara empat sampai tujuh tahun lalu, manajemen Sentul City malah menghukum konsumen dengan mensyaratkan poin-poin jika mau serah terima.

Misalnya, wajib menandatangani pengikatan perjanjian jual beli (PPJB) baru dan dan tidak mengakui PPJB asli yang mengatur penalti keterlambatan serah terima.

Konsumen juga wajib 'MEMINJAMKAN" dana sebesar 25 persen dari harga tanah dan bangunan yang dikompensasi dengan voucher untuk membeli produk Sentul City lainnya dengan harga minimal tiga kali lipat dari nilai voucher, dan baru berlaku pada dua tahun mendatang. Ini sama saja memaksa konsumen untuk membeli produk baru dengan harga sangat tinggi.

Manajemen Sentul menolak segala bentuk negoisasi. padahal implementasi perjanjian perdamaian harus dirundingkan kedua belah pihak dengan terbuka. Rezim manajemen tidak bersedia bertemu dengan konsumen.

Tragisnya Real estate Indonesia (REI) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tunduk kepada Sentul City dan malah mengamini vonis yang dijatuhkan Sentul City kepada konsumennya. Padahal konsumen sangat-sangat dirugikan.

KOMPAS, RABU 9 APRIL 2008 HAL 7

BAMBANG SUSANTO

abdudu mengatakan...

Lemahnya Posisi Tawar Konsumen di Indonesia
Ditulis pada April 16, 2008 oleh hilda a.
Sudah hampir tujuh tahun, Salim Alkatirri, saudagar Ambon, membeli kaveling di perumahan elit Sentul City (dulu Bukit Sentul). Namun, hingga tulisan ini dibuat, ia tak kunjung bisa memperoleh apa yang menjadi haknya itu. Salim membeli kaveling seharga hampir Rp900 juta (nilai sekarang) di kawasan R-21 secara lunas. Logikanya, jika dalam keadaan normal, transaksi itu akan berjalan sah dan lancar. Pembeli mendapatkan haknya berikut legalitas yang menguatkannya (semacam sertipikat hak milik) dan pedangan (pengembang) mendapatkan uang tunai.
Namun, Salim menunggu dalam ketidakpastian. Setahun, dua tahun, hingga memasuki bilangan windu, ia tak juga memperoleh kejelasan. Sampai kemudian pada 2006 ia mendengar kabar bahwa dirinya tidak sendiri, ada banyak ratusan orang yang bernasib sama. Total 567 orang yang dirundung duka akibat cedera janji pengembang Sentul City.
Jika tidak ada konsumen yang berani maju ke meja hijau untuk memailitkan Sentul City, tentu kasus ini akan dikubur dalam-dalam. Dan kita tidak akan memetik pelajaran darinya. Akan tetapi, naif juga jika kita mendukung aksi pemailitan itu. Muncul dugaan bahwa pailitnya Sentul City adalah bagian dari strategi mereka untuk lepas dari kewajiban memenuhi prestasi dan janjinya kepada konsumen. Dengan status pailit, maka dibebaskan pula Sentul City dari seluruh kewajiban-kewajibannya. Siapa yang rugi? Tentu saja konsumen itu sendiri.
Kasus Salim bukanlah satu-satunya dan terakhir yang pernah dan akan terjadi di Indonesia. Beberapa yang sempat tercatat adalah kasus di Pamulang, Gunung Sindur, Parung, dan Bekasi. Bahkan melibatkan salah satu petinggi asosiasi pengembang. Fenomena apa ini?
Inilah potret telanjang dari lemahnya perlindungan hukum kepada konsumen Indonesia. Tak ada satu pun pasal dan klausul yang diperjanjikan memiliki posisi tawar seimbang. Ketidakadilan ini terjadi sudah sejak dalam proses presales (pra penjualan), pembelian, dan penandatanganan Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB). Dalam konstruksi transaksi seperti ini, jelas konsumen sengaja dikondisikan dalam posisi lemah tak berdaya, sementara pengembang memegang kuasa tak terbatas. Pengembang bebas menjual properti tidak secara dalam bentuk fisik, melainkan hanya berupa gambar. Konsumen ‘dibodohi’ pengembang dan mereka mau saja membeli properti hanya masih berupa gambar!!! Ini proses pembodohan awal yang terjadi sejak puluhan tahun lalu. Dan anehnya tak ada regulasi dan keinginan baik pemerintah serta departemen terkait untuk memperbaikinya atau bahkan menghapusnya.
Praktek menjual gambar seharusnya sudah dilarang dalam sektor properti. Ini berpotensi menimbulkan masalah dan kerugian bagi konsumen. Masih ingat kasus Hollywood Resindeces yang pengembangnya kabur setelah mengemplang duit ratusan miliar rupiah milik konsumen? Sayangnya, konsumen tidak belajar dari pengalaman ini.
Sementara dalam proses pembelian. Pengembang sudah sejak awal memamerkan kekuasaannya dengan klausul yang dibikin sepihak, bahwa uang tanda jadi, uang muka dan cicilan awal yang sudah dibayarkan tidak bisa ditarik kembali oleh konsumen jika terjadi pembatalan pembelian!!! Di sini hak konsumen telah dikebiri. Bagaimana dengan PPJB? ini lebih parah lagi, karena draftnya sendiri dibuat sepihak oleh pengembang dengan klausul2 yang sangat merugikan konsumen. Kewajiban konsumen dan hak pengembang melulu yang dicuatkan sementara hak konsumen dan kewajiban pengembang secara samar ditiadakan!!!
Sudah saatnya pelaku bisnis dan konsumen properti belajar dari prakter bisnis di negeri-negeri yang telah mengharamkan menjual atau membeli gambar semata. Contohnya Malaysia, Singapura dan Australia. Di negara-negara tersebut pengembang baru bisa mengutip uang dari konsumen setelah bangunan properti berdiri. Dan atau menurut pada proporsi persentase masuknya uang cicilan konsumen itu pun dengan jaminan yang diberikan oleh pengembang