05 September 2008

Cara Bijak Membelanjakan Uang

Cara Bijak Membelanjakan Uang
Ditulis Oleh Cholichul Hadi - Dosen Psikologi Unair

Korban lumpur tidak menyangka hidupnya kacau selama dua tahun terakhir ini, mulai dari kehidupan keluarga, ekonomi dan kehidupan seks. Mulai anak, remaja, orang tua, juga mengalami kekacauan psikologis, motivasi belajar kacau, dan sejarah desa serta makam-makam leluhur pun lenyap.

Bukan berarti tidak ada masa depan. Sebab ke depan, dua atau tiga tahun lagi mereka harus berusaha mempersiapkan kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Mereka, para korban lumpur, sebenarnya memberi keuntungan yang besar pada pihak lain yang memanfaatkan mereka. Mau tahu bukti nyata? Para politisi tiba-tiba menjadi pahlawan berkat korban lumpur, meskipun sebatas janji doang. Para ilmuwan pun mendapat pekerjaan dari lumpur tersebut, sebagai konsultan yang belum terbukti mengurangi beban korban lumpur, para anggota dewan yang terhormat pun juga merasa lebih terhormat lagi ketika bicara lumpur, dengan niat memperjuangkan warga.
Semua merasa pahlawan dan mendapat keuntungan. Lantas siapa yang peduli para korban yang habis harta dan motivasinya? Kondisi harapan hidup korban lumpur menjadi tidak berkualitas. Mereka para korban, menjadi anak bangsa yang terabaikan dan menjadi tontonan dan perbincangan para politisi. Mereka membutuhkan bantuan pemikiran sebagai jalan keluar bagi penyelesaian psikologisnya. Dan yang perlu digarisbawahi bantuan itu harus dilandasi dengan hati nurani dan manusiawi yang bersih. Tindakan itu diperlukan, karena kita melihat, meskipun lumpur sudah dua tahun menyembur, tapi persoalan seperti tak kunjung selesai. Hingga tak heran, bila kemudian muncul pertanyaan apakah pemimpin di negeri ini masih memiliki nurani? Adakah para calon gubernur dari yang popular sampai yang mendapat rating terendah, membela korban lumpur?
Agaknya sekarang –bersamaan dengan mulai cairnya pembayaran sisa 80 persen atas transaksi lahan warga terdampak-- adalah saat tepat untuk membantu para korban. Bantuan itu sederhana saja, yaitu memberi penjelasan kepada para korban dalam menggunakan uang yang diperolehnya. Bagaimana para korban menggunakan uang itu bukan saja efektif tapi juga efisien.

Solusi
Saat menerima uang 80 persen atas jual beli tanah dan bangunannya, maka warga korban lumpur harus membagi uangnya menjadi tiga bagian:

1. Memenuhi kebutuhan primer. Rumah harus menjadi prioritas utama. Sebab mereka menginginkan tidur nyenyak di rumah sendiri dan memenuhi kebutuhan biologisnya. Banyak dari pengungsi mempunyai gangguan dalam irama tidurnya dan akhirnya berpengaruh pada kehidupan biologisnya. Terutama wanita.
2. Memenuhi kesehatan dan pendidikan. Aspek ini sering diabaikan oleh merekayangmereka yang memegang uang. Apalagi budaya tradisional, pendidikan anak dan kesehatan masih dianggap sebagai takdir. Pendidikan dan kesehatan justru dianggap membuang uang. Dan ini diperkuat kembali oleh budaya bahwa orang miskin tidak dapat sekolah.
3. Untuk tabungan dan usaha (sebesar 40 persen dari uang yang diterima). Individu kalau mau maju dan bertahan, tabungan harus melebihi kebutuhan yang diperlukan. Ada pameo, jika usaha sudah berjalan, baru kita makan. Jangan dibalik, yang penting makan dan menghamburkan uang meskipun usahanya mati. Saatnya untuk berpikir rasional, dan dilandasi kepentingan jangka panjang.

Kita bisa belajar banyak, ketika orang menderita seperti korban lumpur, sebenarnya saat untuk pendewasaan kolektif dan saatnya untuk memupuk mental yang lebih kuat. SaatnyaSaatnya ekspansi ke daerah lain, kalau tidak akan kehilangan identitasnya. Tidak cukup untuk melihat dirinya sebagai korban semata, tetapi melihat dirinya sebagai pendewasaan dalam karya usaha masing-masing. Hal ini dapat dilihat dari para korban gempa atau korban yang lebih parah lagi di Yogyakarta atau di Aceh.
Warga korban lumpur memang kebanyakan orang yang cukup mampu dari sisi ekonomi, dan mereka pantas bersyukur karena masih diberi dana yang cukup besar dalam skema jual beli atas tanah dan bangunannya. Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang di Aceh dengan tsunaminya atau Yogja yang lebih parah?

Bersikap Positif
Saat menerima 80 persen semestinya disikapi lebih positif, artinya ke depan harus mementingkan usaha kegiatan barang atau jasa, setelah dipotong kebutuhan rumah, pendikan dan kesehatan. Ke depan semestinya harus mementingkan usaha, justru para korban lebih tangguh dari sebelumnya. Untuk itu sisi positif dari korban lumpur adalah warga lebih dewasa menyikapi hidup, terutama anak dan istrinya lebih kuat menerima beban kehidupan.
Saya ingin berbagi pengalaman saat bekerjasama dengan Watanabe san, ketika semuanya hilang anak dan istri meninggal dan rumah menjadi hancur karena gempa hebat di negaranya. Sekarang, setelah 26 tahun kemudian, baru terima kasih pada Tuhan, karena dengan bencana itu, Watanabe san dapat bekerja lebih keras dan lebih dewasa dibandingkan dengan teman-temannya yang tidak kena gempa. Sikap positif Watanabe san yang orang Jepang tersebut, dapat menjadi pelajaran bagi korban lumpur dalam mengelola hidupnya. Ke depan lebih penting daripada yang lalu. Saatnya bekerja keras dengan uang yang tersisa. Dengan berhemat dan berusaha, semuanya menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar: