13 Maret 2008

Terus Awasi Lumpur, Biar Interpelasi Diulur

Terus Awasi Lumpur, Biar Interpelasi Diulur

GATRA, Sabtu siang 23 Februari 2008, pukul 13.30 WIB.
Beberapa warga Besuki, Kecamatan Jabon, Sidoarjo, Jawa Timur, duduk dengan wajah letih. Sebagian lagi merebahkan tubuh di bawah pohon rindang di sekitar tenda tempat mereka mengungsi, di sepanjang jalan tol Porong-Gempol. Para ibu muda berusaha ceria menemani anak balita mereka bermain.

Sejumlah pemuda berjubel di gardu dan pos pengungsi. Mereka tampak kelelahan. Tubuh mereka penuh peluh. Sebagian lagi sedang serius memelototi televisi yang menayangkan wawancara langsung seorang anggota DPR tentang lumpur Lapindo. "Dia itu apa buta, tidak bisa lihat kondisi warga," seorang warga berkomentar kesal melihat pernyataan sang anggota dewan.

Warga Desa Besuki memang tengah sensitif. Emosi mereka gampang tersulut. Termasuk pada saat menyaksikan komentar anggota DPR di TV. Dua peristiwa beruntun membuat mereka terpukul berat. Minggu malam 10 Februari silam, akibat tanggul jebol, Desa Besuki diterabas arus lumpur panas. Ada tiga desa lain yang senasib: Kedungcangkring, Pajarakan, dan Mindi.

Status mereka pun masih terkatung-katung. Mereka berada di luar "peta terdampak" yang luasnya mencapai 642 hektare, versi 22 Maret 2007. Akibatnya, warga Besuki tidak mendapat hak yang sama dengan warga desa lain yang masuk peta terdampak, seperti diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 14/2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

Ketika mereka tengah memperjuangkan nasib, belum lagi sepekan kemudian, Selasa 19 Februari, Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (P2LS) DPR menyampaikan laporan yang menyesakkan dada. Tim itu sama sekali tidak menyinggung, apalagi memperjuangkan, nasib kawasan korban lumpur yang berada di luar kawasan "peta terdampak", seperti Desa Besuki, Kedungcangkring, Pajarakan, dan Mindi.

Tim DPR malah lebih sibuk mengarahkan opini pada status lumpur Sidoarjo sebagai "fenomena alam", bukan akibat kesalahan pengeboran Lapindo Brantas. Itu tampak dalam pernyataan pers beberapa anggota tim, seperti Nizar Dahlan (PBB) dan Agusman Effendy (Partai Golkar), sebelum pembacaan resmi laporan pada paripurna DPR, Selasa pekan lalu.

Bila itu bukan kesalahan perusahaan, melainkan akibat "fenomena alam", konsekuensinya, Lapindo bisa saja terbebas dari seluruh tanggungan. Semua pendanaan dampak lumpur jadi beban keuangan negara. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penanggung jawab usaha dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi bila dapat dibuktikan bahwa rusaknya lingkungan hidup itu akibat bencana alam (Pasal 35 ayat 2).

Selasa pagi pekan lalu, menjelang pembacaan laporan tim DPR, pesan singkat dari mantan pejabat bidang bencana masuk ke redaksi Gatra: "Udah baca UU Bencana? Yang berhak menetapkan bencana atau bukan emangnya DPR? Ingat lho, UU itu inisiatif DPR!" UU Nomor 24/2007 itu menyebutkan, yang berwenang menetapkan status dan tingkatan bencana adalah pemerintah (Pasal 7). Dan sejauh ini, belum ada penetapan definitif status lumpur Sidoarjo.

Begitu laporan Tim P2LS dibacakan, butir yang paling sibuk diklarifikasi pimpinan tim memang seputar status semburan lumpur tadi: bencana alam atau bukan. "DPR tidak punya kewenangan menyatakan itu bencana atau tidak," kata Tjahjo Kumolo, wakil ketua tim asal PDI Perjuangan, yang bertugas membacakan laporan.

Priyo Budi Santoso, wakil ketua tim asal Golkar, menyerahkan penentuan status lumpur itu pada mekanisme lain, termasuk proses pengadilan. Urusan status itu bukan agenda Tim P2LS DPR. "Saya minta, ini tidak dipolitisasi. Percayalah, kami bekerja sebaik-baiknya untuk kepentingan korban Lapindo," ungkap Priyo, Ketua Fraksi Golkar DPR, yang Agustus 2007 paling getol mengusulkan pembentukan tim ini, untuk meredam desakan interpelasi.

Dengan laporan itu, kata Priyo, Lapindo tetap bertanggung jawab menyelesaikan 80% sisa pembayaran jual-beli lahan. Laporan sembilan halaman yang dibacakan pada rapat paripurna Selasa lalu itu memang menyatakan, penyebab dan sumber semburan lumpur belum diketahui secara pasti.

Hanya saja, dikemukakan, sebagian besar ahli geologi berpendapat, lumpur Sidoarjo merupakan "fenomena alam", peristiwa mud-vulcano, yang sama sekali tidak terkait dengan kegiatan manusia. Disampaikan pula, terdapat pandangan lain yang menganggap lumpur itu sebuah underground blow-out (semburan liar bawah tanah).

Pemihakan sikap DPR tampak pada laporan butir ketiga. Dengan mencermati fakta bahwa volume lumpur yang keluar sekitar 1 juta barel per hari, terus-menerus, dalam waktu lama, Tim P2LS berpendapat, hal itu, "Semakin memperkuat pendapat para ahli bahwa semburan lumpur di Sidoarjo memang fenomena alam."

Pada butir paling akhir, dipaparkan panjang lebar putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menolak gugatan YLBHI (27 November 2007), dan PN Jakarta Selatan yang menolak gugatan Walhi (27 Desember 2007). Dua PN itu menilai lumpur Sidoarjo sebagai fenomena alam dan tidak berkorelasi dengan aktivitas pengeboran Lapindo.

Dengan bersemangat, Tim P2LS memberi catatan bahwa putusan dua PN itu "memberikan pengabsahan terhadap pendapat para ahli yang menyatakan bahwa semburan lumpur Sidoarjo adalah fenomena alam". Kecenderungan sikap tim DPR ke arah "fenomena alam" itu tercermin sejak bagian pertama laporan.

Ditandaskan, semburan lumpur panas itu pertama muncul pada 29 Mei 2006, hanya selang dua hari setelah terjadi gempa di Yogyakarta (27 Mei 2006). Lokasi semburan ditekankan tidak berada di sumur eksplorasi Banjarpanji-1 milik Lapindo, tapi 200 meteran di luar areal. Ini khas argumen pokok para penganut pandangan bahwa semburan lumpur itu akibat bencana alam.

Kental sekali nuansa laporan tim itu hendak mengarahkan opini, meski secara "malu-malu", bahwa semburan lumpur Sidoarjo adalah akibat bencana alam, tidak terkait dengan aktivitas pengeboran Lapindo. Tapi pimpinan tim berkelit. Mereka menyangkal dikatakan hendak menetapkan kasus ini sebagai bencana alam.

Itulah sebabnya, anggota DPR asal PAN, Dradjad H. Wibowo, bereaksi keras terhadap cara tim mempermainkan status "fenomena alam". Agar konsisten, kata Dradjad, DPR tidak bisa mengutip terus pendapat sebagian ahli. "Kalau kita menyebutkan ini fenomena alam, maka kita sudah mengarahkan ini sebagai fenomena alam," ujar Dradjad.

Hal itu bisa berimplikasi anggaran. "Kalau ini fenomena alam, maka Lapindo Brantas tidak bertanggung jawab mengeluarkan satu sen pun. Sehingga Rp 1,3 trilyun yang sudah dikeluarkan Lapindo harus diganti negara," katanya. Dradjad minta agar kalimat yang mengarah pada kata "fenomena alam" di-drop. Tapi, hingga akhir rapat, tidak tampak keputusan eksplisit bahwa ungkapan "fenomena alam" itu dihapus.

Komentar pedas juga dilontarkan Permadi, anggota Fraksi PDI Perjuangan. "Laporan ini seperti humas Lapindo. Benar-benar membela pengusaha. Sama sekali tidak disinggung, penyebab utama adalah pengeboran tanpa casing. Kalau tidak ada pengeboran, lumpur itu tidak akan keluar karena 3.000 meter di bawah tanah," kata Permadi.

Laporan tim itu memang tak terlihat tajam mengkritik kinerja Lapindo. Misalnya dalam pembayaran jual-beli tanah tahap awal 20% yang sempat tersendat. Padahal, faktor itulah yang membuat presiden sampai harus berkantor di Sidoarjo, Juni 2007. Energi kritik laporan itu lebih diarahkan ke elemen pemerintah saja: BPLS.

Ida Fauziyah, mantan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa, mengingatkan bahwa Tim P2LS itu merupakan kompromi pimpinan fraksi pada paripurna 21 Agustus 2007, sebagai opsi pendahuluan untuk "mengulur" interpelasi DPR. Kinerja tim itu akan jadi ukuran. Bila tidak memuaskan, usulan interpelasi DPR akan dilanjutkan.

Usulan Ida itu membuat pimpinan sidang, Soetardjo Soerjogoeritno, menawarkan dua opsi: melanjutkan interpelasi atau memperpanjang kerja Tim P2LS. "Setuju, ya, interpelasi?" ujar Mbah Tardjo --panggilan Soetardjo Soerjogoeritno-- santai. Sesaat, tak ada anggota sidang yang memberikan interupsi. Dan palu pun diketokkan.

Pasca-paripurna, di antara sesama anggota DPR terjadi polemik tentang tafsir ketok palu Mbah Tardjo tadi. Satu kubu menyimpulkan, laporan tim ditolak sehingga agenda berikutnya, interpelasi dijalankan. Kubu lain, yang dimotori para pimpinan Tim P2LS, berkesimpulan lain: interpelasi nanti dulu.

Dengan demikian, pada saat warga korban lumpur lebih pening memikirkan kepastian ganti rugi yang semestinya mereka terima, para elite DPR lebih bersemangat berpolemik urusan jadi-tidaknya interpelasi. Sampai-sampai, Jumat pekan lalu, harus dilakukan pertemuan antarpimpinan DPR dan pimpinan fraksi untuk menyamakan persepsi tentang arti ketukan palu Mbah Tardjo tadi.

Dicapailah kesepakatan bahwa Tim P2LS diperpanjang masa kerjanya. Soal interpelasi? "Rapat konsultasi itu menegaskan bahwa interpelasi secara on call mengikuti apa yang akan dihasilkan Tim P2LS," kata Priyo, Ketua Fraksi Golkar. Agenda sidang paripurna bukan menolak atau menerima laporan Tim P2LS, melainkan meneruskan kerja tim.

Priyo mengklaim, dengan adanya tim itu, penyaluran dana 20% mengalami percepatan. Tentang nasib kawasan di luar peta terdampak, DPR belum bisa memutuskan. "Akan kami bahas nanti. Harus mempertimbangkan APBN karena ditanggung APBN," Priyo memaparkan.

Ia juga membantah bahwa tim tidak tegas menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas semburan lumpur itu. "Kami memerintahkan agar Lapindo memberikan jaminan aset dalam pembagian dana tunai yang setara kepada para korban. Dan kami tuntut agar itu dibagikan sesuai dengan jadwal," ujar Priyo.

Tim, kata Priyo, juga berusaha mencegah agar Lapindo tidak bisa minta ganti dana yang mereka keluarkan ke pemerintah bila kelak pengadilan menyatakan bahwa Lapindo tidak bersalah. "Kami minta Lapindo membuat perjanjian agar nanti dana itu tidak ditagihkan ke pemerintah," Priyo menambahkan.

Perjanjian itu sengaja dibuat karena ada kekhawatiran, kalau di kemudian hari PT Lapindo dinyatakan tidak bersalah, maka tidak akan melakukan upaya hukum untuk menagih pada pemerintah atas semua dana kerugian yang dibayarkan kepada masyarakat.

Anehnya, soal jaminan aset dan perjanjian itu tidak terdapat dalam laporan sembilan halaman yang dibacakan Tjahjo Kumolo. Tuntutan agar Bakrie menjaminkan asetnya, untuk memastikan kelancaran pembayaran sisa 80%, adalah salah satu tuntutan wakil FKB dalam Tim P2LS. Sebab ketika pembayaran yang 20% dulu terseok-seok.

Materi itu, bersama lima item lain usulan FKB, menjadi bahan debat alot dalam pembahasan dua hari sampai larut malam di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Jumat-Sabtu, 2-3 Februari lalu. Menurut Abdullah Azwar Anas, anggota FKB yang menjadi anggota Tim P2LS, desakan lain FKB adalah agar pandangan ahli geologi yang dicantumkan tidak hanya satu opini, yang menyebut semburan itu fenomena alam.

Harus dikemukakan pula opini yang berbeda bahwa itu akibat kesalahan pengeboran yang tidak memakai casing. Lalu sikap pada BPLS dan Lapindo diminta lebih tegas, tidak lunak. Proses hukum harus didorong agar tidak berhenti. Termasuk proses pidana yang sedang ditangani Kepolisian Daerah Jawa Timur.

FKB juga minta kepastian status desa-desa seluas sekitar 400 hektare yang ada di luar peta terdampak, yang kini juga terendam lumpur. "Mereka harus mendapat perlakuan sama dengan desa yang berada dalam peta terdampak, karena nasib mereka juga sama," kata Azwar Anas. Resettlement warga terdampak lumpur pun dijamin.

Dalam rapat di Kemang itu, tinggal FKB yang belum sepakat atas rumusan laporan. Hingga FKB memutuskan tidak ikut menandatangani laporan. "Kami juga minta agar tidak mencantumkan kata fenomena alam," ujar Effendi Choirie, Ketua FKB. "Sampai beberapa saat sebelum sidang paripurna, kami tidak mau menandatangani laporan itu."

Akhirnya FKB mau menandatanganinya setelah substansi beberapa usulan diterima tim, meski belum memuaskan. "Daripada kami walk out, tidak ikut tanda tangan, lebih baik kami tetap masuk agar kami bisa terus ikut mengawasi. Toh, substansi usulan kami sudah banyak diterima," katanya.

Bagi Firman Wijaya, pengacara Walhi, yang dikalahkan Lapindo di PN Jakarta Selatan, sikap DPR yang menyebut lumpur Lapindo sebagai fenomena alam merupakan "kutukan" bagi warga Sidoarjo yang jadi korban. "Itu melukai rasa keadilan masyarakat Sidoarjo," ujarnya. DPR semestinya tidak mendelegitimasi proses di pengadilan, yang kini belum final.

Firman tengah menyiapkan memori banding setelah dikalahkan PN Jakarta Selatan pada kasus lumpur Lapindo. Menurut dia, DPR seharusnya mendorong proses hukum di pengadilan, bukan membuat kesimpulan sendiri. "Kesimpulan DPR itu keluar dari asumsi-asumsi hukum, karena proses hukum belum final," ungkap Firman.

Meski DPR bilang semburan lumpur itu fenomena alam, Vice President Public Relations PT Lapindo Brantas, Yuniwati Teryana, menegaskan bahwa pihaknya tetap menjalankan kewajiban sesuai dengan kerangka Perpres 14/2007 tentang BPLS. Di sana diatur tentang pembagian kewajiban Lapindo dan pemerintah. "Kami tidak akan berubah," katanya kepada Rach Alida Bahaweres dari Gatra.

Hingga Desember 2007, untuk penanggulangan sosial, upaya penutupan sumber semburan, realisasi uang muka 20% jual-beli tanah, dan lain-lain, Lapindo telah mengeluarkan Rp 2,83 trilyun. Mulai Mei 2008, sisa pembayaran 80% akan dilaksanakan.

Ketua BPLS, Mayor Jenderal (purnawirawan) Sunarso, juga mengaku tidak terpengaruh oleh kesimpulan DPR. "Kami tetap akan bekerja keras untuk secepatnya menyelesaikan apa yang menjadi beban tugas kami," katanya kepada Syamsul Hidayat dari Gatra. Yakni tugas sebagaimana diatur dalam Perpres 14/2007.

Asrori S. Karni, Mukhlison S. Widodo, Deni Muliya Barus, dan M. Nur Cholish Zaein (Surabaya)
[Nasional, Gatra Nomor 16 Beredar Kamis, 28 Februari 2008]

Tidak ada komentar: