16 Maret 2008

Pembelian Tanah Lapindo Tersandung UU Agraria

Minggu, 16 Mar 2008,
Pembelian Tanah Lapindo Tersandung UU Agraria

BPN Beri Dispensasi
JAKARTA - Pembayaran ganti rugi 80 persen kepada warga korban semburan lumpur menemui kendala. Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menengarai pengalihan hak atas tanah berstatus hak milik kepada badan hukum (PT Minarak Lapindo/PT Lapindo Brantas) bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Kendala tersebut terungkap berdasar dokumen Laporan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tertanggal 13 Februari 2008. Laporan bertajuk Permasalahan Mendesak itu juga telah dibahas dalam rapat Dewan Pengarah BPLS yang dipimpin Ketua Dewan Pengarah BPLS/Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto.

Laporan BLPS menyebutkan, dalam penuntasan jual beli tanah dan bangunan milik warga korban dengan status hak milik letter C dan pethok D, ditemukan indikasi yang bertentangan dengan ketentuan pasal 26 UU PA ayat 2 juncto pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah.

"Mengingat Lapindo Brantas Inc merupakan badan hukum yang termasuk tidak boleh melakukan transaksi jual beli tanah hak milik," tulis laporan BPLS yang ditandatangani Ketua BPLS Soenarso tersebut.

Pasal 26 ayat 2 UU Pokok Agraria menyebutkan, kegiatan jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, dan perbuatan-perbuatan lain yang secara langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, WNI berkewarganegaraan ganda, atau badan hukum dinyatakan batal demi hukum. Selain pengalihan hak atas tanah dinyatakan batal demi hukum, hak atas tanah dinyatakan jatuh kepada negara dan seluruh pembayaran yang telah diterima pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Badan hukum yang dikecualikan dari ketentuan di atas, antara lain, bank-bank milik negara, perkumpulan koperasi pertanian, badan keagamaan, dan badan-badan sosial atas penunjukan menteri agraria/kepala Badan Pertanahan Negara. Dengan demikian, Lapindo Brantas maupun Minarak tidak termasuk badan usaha yang berhak membeli tanah berstatus hak milik.

BPLS juga khawatir pengalihan hak atas tanah itu tidak dapat dilaksanakan karena objek yang diperjualbelikan secara fisik tidak ditemukan akibat terendam lumpur. Dengan kondisi tersebut, BPLS khawatir Minarak Lapindo Jaya akan membatalkan atau menunda pemberian ganti rugi 80 persen yang dijadwalkan pada Mei mendatang.

"Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah harus membuat payung hukum agar pejabat pembuat akta tanah (PPAT) tidak melanggar ketentuan UU PA dalam pencatatan jual beli tanah dan lahan," tulis laporan BPLS.

Masalah lain yang dilaporkan BPLS, pengalihan hak atas tanah itu bermasalah dalam pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sesuai ketentuan UU No 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) serta Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan (PPh), proses jual beli tanah dan bangunan yang terendam lumpur dikenakan BPHTB dan PPh.

Namun, korban maupun Minarak Lapindo Jaya menolak membayar BPHTB dan PPh atas ganti rugi yang dinyatakan dalam kegiatan jual beli hak milik atas tanah tersebut. "Karena itu, pemerintah harus membuat payung hukum yang memberikan keringanan pembayaran BPHTB dan PPh atas proses jual beli hak atas tanah korban," tulis laporan BPLS.

Ketika dikonfirmasi, Djoko Kirmanto mengakui sejumlah hambatan dalam penuntasan ganti rugi warga tersebut. Namun, Djoko memastikan masalah itu sudah diselesaikan kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN). "Sehingga pembayaran 80 persen itu sudah bisa dibayarkan Mei mendatang," katanya.

Kepala BPN Joyo Winoto membenarkan pernyataan Djoko Kirmanto tersebut. Menurut dia, BPN telah mendispensasi pengalihan hak atas tanah milik korban pada PT Minarak Lapindo Jaya. Hal itu dilakukan untuk mempermudah pembayaran kekurangan pengalihan hak atas tanah sebesar 80 persen.

"Dalam pasal 26 UU Pokok Agraria dimungkinkan pengalihan hak milik kepada badan usaha. Menurut ketentuan Perpres (Nomor 14 Tahun 2007 tentang BPLS) juga mungkin. Jadi, dari segi sertifikasi, tidak ada masalah karena sudah saya settlement-kan," ujarnya.

Joyo tidak bersedia merinci dispensasi yang diberikan kepada Minarak. Meski demikian, dia memastikan bahwa setelah pembayaran ganti rugi 80 persen selesai, lahan milik korban lumpur bisa disertifikatkan. "Ada dua pilihan, apakah mau disertifikatkan satu-satu bidang tanah atau langsung dalam satu hamparan," kata dia.

Bila sertifikasi dilakukan satu-satu bidang, ujar Joyo, hal tersebut tampaknya susah karena batasnya sudah tertimbun lumpur. Namun, bila disertifikasi satu hamparan, itu terkendala masuknya sejumlah fasilitas umum. "Di bawah lumpur itu kan juga ada sekolah, ada jalan, ada kuburan. Itu harus dikeluarkan dulu, baru dapat disertifikatkan. Jadi, berbagai hambatan tersebut sebenarnya isu yang tidak perlu karena kita sudah settle-kan. Masyarakat tidak perlu khawatir," tegasnya. (noe/tof)

Tidak ada komentar: