10 Maret 2008

Konsumen Harus Teliti ”Track Record” Pengembang

JAKARTA – Bagi sebagian orang nasihat teliti dulu sebelum membeli barangkali terkesan klise. Namun tidak bagi calon konsumen yang sedang mencari tempat tinggal rumah atau apartemen. Harus teliti benar mengenai siapa pengembangnya, kualitas bangunannya dan sebagainya, sehingga tidak menyesal di kemudian hari.

Simak data dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Tahun 1998 terdapat 243 kasus pengaduan yang masuk diantaranya pengembang yang melarikan uang konsumen, tidak membangun tepat waktu sesuai PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli), dan lain-lain. Setahun kemudian yakni 1999, jumlah pengaduan yang masuk ke YLKI berkurang menjadi 196 kasus, dan terakhir tahun 2003 lalu jumlah kasus developer bermasalah turun drastis menjadi 29 kasus.
Dari statistik di atas terlihat ada perkembangan positif dengan berkurangnya pengaduan yang masuk. Namun itu belum bisa dijadikan ukuran karena bisa jadi masih banyak lagi konsumen yang enggan mengadukan nasibnya ke YLKI atau mengambil langkah hukum melalui pengacara (lawyer) komersial. Ini diakui sendiri oleh Sudaryatmo, pengurus harian YLKI yang membidangi properti.
“Bisa jadi demikian. Karena kita di YLKI punya kebijakan hanya menangani klaim pengaduan yang melibatkan layanan publik (public service), korbannya jumlahnya banyak atau massal dan konsumen tidak sanggup membayar penga-cara komersial. Untuk pelanggaran di properti kelas menengah dan atas, kita tidak tangani,“ ujarnya.
Dengan kata lain masalah yang muncul ke permukaan lebih banyak terkait dengan masyarakat miskin dan properti yang bermasalah adalah perumahan sederhana. Ba-gaimana dengan perumahan menengah dan atas? Tampaknya korban enggan mengadukan masalahnya ke YLKI sehingga sangat masuk akal jika tidak masuk hitungan.

Sanksi
Selama ini, ada tiga hal pokok yang selalu menjadi biang masalah dan selalu dijumpai pada kasus properti atau pengembang bermasalah. Pertama, developer membawa lari uang nasabah. Kedua, pengembang tidak membangun atau sengaja mengulur waktu penyelesaian properti, dan ketiga adalah developer tidak mengantongi izin yang lengkap dari pemerintah daerah tetapi sudah berani menjual.
Untuk dua hal pertama, REI (Real Estat Indonesia) selaku organisasi yang mewadahi para developer, secara berterus-terang mengakui adanya anggota yang nakal.
“Saya akui bahwa ada anggota kami yang nakal. Bagaimanapun, sulit sekali bagi kita mengawasi satu per satu anggota kita yang jumlahnya ribuan. Lebih-lebih lagi yang di daerah. Jika ada konsumen yang dirugikan, silakan adukan ke REI dan kita akan ambil tindakan tegas. Bahkan bila perlu kita akan coret keanggotaannya dari REI,“ kata Yan Mogi, Ketua Umum DPP REI dalam sebuah seminar properti, di Jakarta, Kamis (11/3).
Hal senada juga diutarakan oleh Willy Prananto, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan DPD REI DKI Jakarta. Dikatakannya, REI memiliki satu komisi penyelesaian anggota yang akan menjembatani masalah atau pengaduan dari konsumen terhadap pengembang yang bersangkutan. Jika ada masalah, REI akan memanggil developer tersebut dan meminta pertanggungjawaban. Sanksi berupa pencoretan keanggotaan dari REI, menurut Yan Mogi dan Willy sangat mungkin.
“Bagaimanapun kita ini menjalankan bisnis jasa. Saya bisa bertahan di bisnis ini lebih dari 20 tahun karena kepercayaan yang saya tanamkan ke konsumen. Jika ada pengembang yang melakukan tindakan tidak terpuji, percayalah selamanya konsumen akan tahu boroknya si developer itu,“ tutur Yan Mogi.

Perizinan
Bagaimana dengan masalah perizinan? Menarik membicarakan hal ini. Dari sisi pemerintah, khususnya Pemda DKI Jakarta, telah menegaskan bahwa pengembang harus terlebih dahulu mengantongi SIPPT (Surat Izin Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT) sebelum mendirikan bangunan. Tanpa surat tersebut, sama artinya pengembang belum memiliki kekuatan hukum atas lahan yang dibangun.
“Bangunan yang berdiri tanpa SIPPT berarti juga tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Jadi harus dibongkar,” tegas Nurfakih Wirawan, Kepala Dinas Tata Kota DKI Jakarta, di Jakarta, Kamis (11/3).
Menurutnya, SIPPT yang berlaku bagi lahan komersial lebih dari 5.000 meter persegi tersebut mengacu pada UU Tata Ruang. Dan itu katanya, harus ada sebelum penjualan dilakukan. Dengan mengantongi SIPPT tersebut berarti pengembang secara sah menguasai lahan tersebut yang dibuktikan antara lain dengan sertifikat tanah, kesesuaian dengan tata kota, dan tidak ada sengketa dengan pihak ketiga.
“Jadi, kalau suatu proyek properti dijual tanpa SIPPT, yang berarti juga tanpa IMB, tidak ada kepastian bagi konsumen. Lahan properti tersebut ada kemungkinan tak bisa dikembangkan karena tersangkut masalah hukum. Ini harus dicegah agar konsumen tidak merasa tertipu,” katanya.
Kepala Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan (P2B) DKI Jakarta, Djumhana, juga telah mengingatkan bahwa Pemda DKI Jakarta akan bertindak tegas terhadap pelanggaran izin baik untuk apartemen maupun pusat perbelanjaan.
“Developer yang tidak memiliki IMB jelas telah melanggar Perda nomor 3/1999 akan dikenakan sanksi denda atau bentuk lain, sesuai dengan ketentuan dalam Perda itu,” katanya. Dari data yang tercatat di Pemda, pelanggaran terbanyak adalah penjualan atau launching proyek komersial tanpa terlebih dahulu mengurus SIPPT.

Curi ”Start”
Praktik yang banyak terjadi sekarang ini, tidak jarang pengembang telah menjual atau memasarkan produk propertinya padahal belum 100 persen mengantongi izin. REI melalui Willy Prananto beragumen bahwa untuk mengurus ijin waktunya terlalu lama padahal buat pengembang, timing adalah kunci untuk sukses menjual rumah atau apartemen. Jika pengembang hanya menunggu kepastian izin keluar, amat mungkin proyek properti tersebut akan gagal atau kurang diminati.
Namun hal itu dibantah oleh Muh Fausal Kahar, Kepala Sub Dinas Pengkajian Struktur Ruang Kota, Dinas Tata Kota, Pemda DKI Jakarta. Diakuinya, jangka waktu pengurusan izin cukup lama karena harus memenuhi semua prosedur hukum agar kelak tanah yang dikembangkan tidak menimbulkan masalah, yang pada gilirannya akan merugikan konsumen.
Ditambahkannya bahwa saat ini di DKI Jakarta sangat sulit menemukan lahan ribuan meter persegi yang dimiliki oleh satu pihak. Tanah yang mencapai luas 5.000 meter persegi umumnya dimiliki oleh beberapa orang bahkan mungkin ratusan orang. “Peruntukannya juga bisa bermacam-macam. Karena itu, Pemda harus memastikan bahwa peralihan hak atas tanah itu sudah berjalan sesuai dengan hukum dan juga sesuai dengan permintaan pengembang. Ini yang membuat waktu pengurusan memakan waktu lama,” katanya.
Tindakan pengembang yang mencuri start dengan cara menjual sebelum izin didapat, menurut Yan Mogi, dilakukan sekedar untuk menguji pasar. “Apabila minat konsumen cukup tinggi, proyek akan diteruskan. Tetapi jika tidak proyek akan dibatalkan dan uang konsumen akan dikembalikan. Kita pun selaku pengembang sebisa mungkin menuruti ketentuan yang berlaku termasuk harus memperoleh izin seperti SIPPT dan IMB,” katanya.

Untung-untungan
Hanya saja tindakan tersebut dinilai oleh Djumhana dan YLKI sebagai tindakan untung-untungan dan membahayakan konsumen. Apalagi sering kali developer tidak mengakui sudah ada pembelian, pembayaran uang muka atau down payment (DP) atau akad kredit. Inilah yang katanya, digunakan oleh developer agar tidak terjerat oleh Perda yang mengharuskan mengantongi SIPPT terlebih dahulu.
“Cara-cara mengatasnamakan uji pasar itu sangat membahayakan konsumen karena konsumen ibarat membeli kucing dalam karung. Nyatanya, banyak konsumen yang terkecoh dan menjadi korban. Dan mereka ini tidak saja dari kalangan masyarakat kecil, tetapi juga kalangan atas yang berpendidikan luar negeri,” ucap Sudaryatmo.
Kondisi di atas memberi sinyal tegas kepada calon konsumen atau pembeli properti baik rumah, apartemen atau properti komersial lain untuk lebih meneliti produk yang dipasarkan. Kenali lebih dalam pengembang bersangkutan, bagaimana track record-nya. Jangan pernah sekalipun berpatokan pada brosur semata.
Seorang rekan SH pernah berujar,“Ini karena maraknya konsep pre-sales, jual brosur. Kalau begini masalahnya, kita kembalikan saja ke konsep dahulu yaitu membeli rumah yang secara fisik ada di depan mata. Setidaknya bisa mengurangi masalah yang memu-singkan kepala,“ ujarnya.

Tidak ada komentar: